Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Kamis, 31 Mei 2012

ANALISIS FENIMISME PUISI NUR WAHIDA IDRIS

PEMBERONTAKAN DALAM
JIWA YANG TERSEKAP

Ayu I’u Gek

Jiwa yang Tersekap

     Menjadi judul dari puisi yang ditulis oleh Nur Wahida Idris. Entah apa yang ingin ditunjukkan oleh penulis melalui puisinya. Bagaikan suatu pernyataan kepedihan yang dialami penulis. Atau mungkin juga suatu kemarahan terpendam atas apa yang ia rasakan, yang hanya dapat ia katakan lewat goresan penanya. Terkadang saat kita tak mampu lagi berkata, hanya pena dan kertaslah yang setia menjadi saksi cerita kita.

salam bagi jiwaku
salam bagi jiwa-jiwa yang teraniaya

     Nur Wahida Idris memulai dengan mengucapkan salam pada jiwanya dan salam pada jiwa-jiwa lain yang teraniaya. Saya sendiri bertanya, mengapa salam itu harus tertuju pada jiwa-jiwa yang teraniaya? Sehingga sampailah pada satu kesimpulan bahwa sebenarnya ada semacam tekanan yang ia rasakan dalam dirinya. Dari tulisannya penulis ingin melepaskan diri dari tekanan tersebut dan ia yakin bahwa sebanarnya masih banyak orang-orang yang merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan.
      Pernyataan ini diperkuat dengan adanya larik: segala yang tampak dan tak sanggup kau rasakan/ datang bagai sekawanan burung yang menyergap dalam gelap//
    Puisi ini menyatakan perasaan penulis yang meledak-ledak tentang perasaannya. Ia ingin mengatakan pada orang-orang bahwa ia itu ada dan orang lain tidak berhak untuk mengekang hidupnya. Yah, tidak ada orang yang mau dikurung. Setiap orang pasti ingin bebas dan menikmati hidupnya.
      Namun justru saya menemukan hal yang aneh dari puisi ini. Mengapa keinginan-keinginannya itu justru ia ungkapkan dengan kata ‘kau’, sebab menurut saya pernyataan itu justru ingin ia tunjukkan pada dirinya sendiri. Selain itu apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan penulis melalui kata ‘tuhan’ yang ia tuliskan dengan huruf kecil? Adakah makna lain dalam kata tersebut yang bahkan tidak hanya dituliskan satu kali namun berkali-kali?

apa yang kau tuhankan dalam dirimu yang kalut/ yang mengeras ketakutan di dinding ketidaktahuanmu itu//
bacalah dengan nama tuhanmu
yang menajak jalan sempitmu ke rumah tuhan
ke rumah tuhan? Di amna tuhan kau rumahkan?
tuhan terusir bersama hama dan pagi yang celaka

      Tuhan disini bukanlah menunjuk pada arti kata Tuhan yang sebenarnya sebagai Ia Yang Maha Kuasa, melainkan merujuk pada kekolotan dan kerendahan lelaki dalam memandang perempuan. Penulis ingin agar laki-laki mau mengerti dan memahami kelembutan hati wanita yang tidak hanya untuk dianiaya tetapi juga untuk diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan hak-hak hidup, baik hak untuk menuntut pendidikan maupun untuk mengeluarkan pendapat.

bacalah, dengan nama tuhanmu!
dan kitab-kitab yang kau hempaskan ke dalam diri
sebelum kata-kata menjadi ajal
bagi doa-doa kepayang di urat lehermu

bacalah! Sebelum darah mereka yang kau nistakan
menjadi anggur yang memabukkan di altar yang damai,
ladang dan kebun selayang pandang yang menyekap masa kanakmu
bagai katak yang berjalan dalam kabut
dan keyakinan yang berkembang menjadi absurd!

    ‘Bacalah’ menjadi pilihan kata yang memulai kedua bait puisi tersebut. Mengapa harus kata tersebut? Karena itulah yang menjadi roh dari puisi ini. Nur Wahida Idris ingin menyampaikan kepada kita bahwa hidup akan semakin hidup bila kita rajin membaca, sebab dengan membaca cakrawala pengetahuan kita akan terbuka.
        Namun pada puisi ini ada pengkhususan kata membaca yang sebenarnya ingin ia tunjukkan pada para perempuan. Sebab sejak zaman dahulunya perempuan selalu dilarang untuk ‘pintar’. Perempuan tidak boleh bersekolah dan menuntut ilmu, perempuan tidak boleh membaca buku-buku seperti bacaan para laki-laki. Itulah yang menyebabkan perempuan selalu terbelakang dan laki-laki selalu menang. Perempuan hanya tameng yang dapat diunggulkan dalam “kasur, dapur, dan sumur.
       Melalui puisinya penulis ingin mengubah dan menentang anggapan tersebut. Kini tak hanya lelaki yang bisa bersekolah dan menikmati pendidikan. Perempuan juga harus memiliki hak yang sama dalam menikmati dan mendapatkan pendidikan. Perempuan juga harus pintar seperti layaknya laki-lakai agar tidak selalu dibodoh-bodohi oleh kaum laki-laki.
       Akhirnya kemajuan perempuan mulai terbuka dengan adanya gerakan yang dilakukan oleh Raden Ajeng Kartini dalam usahanya ‘emansipasi wanita’ setidaknya pergerakan itu sedikit banyak dapat membantu perempuan bangkit dari keterpurukannya.
          Pendidikan itu penting untuk didapatkan dan dinikmati oleh siapaun. Tidak memandang apakah orang itu perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, miskin, kaya, maupun orang cacat sekalipun. Hal ini sudah jelas diatur dalam UUD 1945 BAB XA mengenai HAK ASASI MANUSIA, pasal 28C ayat 1, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”
        Selain itu dalam UUD 1945 pun dituangkan juga mengenai pendidikan secara menyeluruh dalam BAB XIII mengenai PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, pasal 31 yang terdiri dari 5 ayat. Pada bab ini mengatur tentang hak warga negara untuk mendapat pendidikan, tujuan pendidikan nasional, anggaran pendidikan, dan kewajiban pemerintah unutk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
       Oleh sebab itu, tidak ada lagi yang dapat menghalangi siapapun untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

di ladang dan kebun daun-daun yang dimakan ulat
tuhan terusir bersama hama dan pagi yang celaka
sedang matahari tak memberkahi ingatan pada malam

salam bagi jiwamu
salam bagi jiwa-jiwa yang tersekap diantara siang dan malam!

       Dalam akhir puisinya pun Nur Wahida Idris sempat mengungkapkan titik terang kemajuan wanita tersebut. Larik-larik di atas dapat mewakili kepercayaan akan terbukanya kesempatan yang baru bagi kaum perempuan untuk mendapatkan kebebasan dalam berekspresi. Namun dalam mencapai dan menjalani kebebasan tersebut para perampuan tidak boleh melencengkan diri dari kodrat dan status sosialnya di masyarakat.
       Apapun yang terjadi dalam gejolak perjalanan hidup manusia (laki-laki dan perempuan), tidak dapat dipungkiri bahwa nantinya mereka akan tetap hidup berdampingan dan saling menguatkan satu sama lain. Sudah takdirnya laki-laki dan perempuan diciptakan berpasang-pasangan dan menjalani hidup ini dalam jalinan kasih yang suci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar