Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Kamis, 31 Mei 2012

ANALISIS PUISI “MOMENTO MORI” KARYA BODE RISWANDI

   By:  Ayu I'u_Gek 
     

     Puisi Bode Riswandi yang berjudul ‘Momento Mori’ ini terdiri dari tiga stanza dan dua puluh satu larik. Setiap stanza terdiri dari tujuh larik. Sebuah puisi yang memperkenalkan tema yang hangat dan baru.
      Menurut saya puisi Bode Riswandi yang berjudul Momento Mori ini mengandung makna tentang perpaduan antara kehidupan nyata dan kehidupan rohani baik yan dialami oleh penulis sendiri maupun dari pengalaman orang lain.
      Dari pemahaman saya, puisi ini seolah menceritakan sebuah kisah yang mungkin pernah dialami oleh penulis atau mungkin diambil dari pengalaman orang lain yang pernah didengar oleh penulis.
       Menurut pandangan saya, puisi ini menjelaskan suatu perjalanan rahasia yang bersifat rohani dari diri seseorang yang sempat mengalami ‘mati suri’. Biasanya orang-orang yang pernah mengalami mati suri pada saat sadarnya pasti dpat menceritakan kembali semua suasana dan kejadian yang sempat dialaminya pada saat berada di alam yang berbeda dengan kita tersebut.
      Sebenarnya saya juga mengalami banyak kesulitan untuk memahami puisi ini. Tetapi, entah mengapa tiba-tiba saya terilhami dari beberapa kalimat yang termuat dalam puisi dan dapat menguatkan pemikiran saya dalam pengambilan makna dari puisi ini.
       Di dalam puisi ini penulis ingin mambagi sedikit cerita tentang kehidupan yang berbeda dengan kahidupan kita di dunia yang  nyata ini. Kata-kata yang dipakai oleh penulis sangat kuat menyatakan makna demi makna yang mewakili maksud dari penciptaan puisi ini.
      Bagi saya, puisi ini adalah puisi yang baru pertama kali saya baca. Jadi butuh lumayan waktu untuk memahaminya,apalagi tema dalam puisi ini berbicara tentang dunia yang lain. Sebuah dunia yang belum pernah kita lihat/ketahui sebelumnya. Pemahaman akan makna yang terkandung dalam puisi ini dapat saya ambil dari penggalan-penggalan kalimat puisi ini, seperti :

     Tak sampai air menahanku berangkat dari sini.
     Kalimat ini mengandung makna bahwa bila telah tiba saatnya ajal akan datang menjemput, maka tidak ada satupun orang yang dapat mencegah kehendak Tuhan tersebut. Kita sebagai makhluk ciptaannya hanya dapat  menerima semua yang telah Ia goreskan dalam hidup kita. Kita harus percaya bahwa Tuhan itu maha adil dan maha mengasihi. Apa yang Ia takdirkan dalam hidup kita berarti itulah yang terbaik yang harus kita jalani.

        Di ruang tunggu stasiun itu, ia menungguku tiba.
       Lirik ini seakan menyatakan bahwa penulis seakan-akan melihat sesosok malaikat (pendaran cahaya) yang akan menjemputnya untuk membawanya ke alam fana. Sesuatu yang aneh namun nyata dalam penglihatan mata batin penulis saat ia melihat semua kejadian itu. Pengalaman rohani memang terkadang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Tetapi apapun itu, semua kejadian tersebut ada dan nyata, hanay kita saja yang tidak pernah mengetahuinay atau bahkan tidak pernah mau tahu.
Turun dari gerbong kereta yang berbeda.
      Penulis seperti ingin melukiskan bahwa seseorang yang menunggunya tersebut berbeda dengannya. Mungkin saja makhluk tersebut belum pernah ia lihat sebelumnya dan berdiri di arah yang berlawanan dengannya. Pemandangan yang ganjil dalam pemikiran penulis. Makhluk aneh tersebut tidaklah lain adalah malaikat sebagai utusan Tuhan yang aka menjemput jiwanay untuk pergi dari raganya.

      Kemanakah asap di cerobong itu terbang.
      Yang menjadi penguat/penekanan dalam kaliamat ini adalah kata asap dan kata terbang.Menurut saya ini seolah-olah sebuah pernyataan hati penulis yang pada saat itu sedang berada dalam alam batas sadarnya yang seakan bertanya-tanya dalam hati, kemanakah jiwanya akan pergi setelah ini. Dan mungkin pertanyaan ini juga terus bergema di hati orang-orang yang akan ditinggalkan oleh penulis untuk selama-lamanya. Penulis merasa kebingungan melihat segala sesuatu yang ada dihadapannya pada saat itu, sehingga pertanyaan “dimana aku, akan kemanakah aku, dan siapa orang-orang itu’ selalu melayang-layang dalam pikiranya.

        Dengan wajah riang ia melambai di persimpangan.
       Kalimat ini seolah sebuah pernyatan bahwa di tengah kebingungannya itu ia melihat ada sesosok orang yang seakan memanggilnya untuk mendekat padanya. Orang tersebut seakan ingin menunjukkan jalan yang harus ditempuh oleh sang jiwa untuk menuju pada tempatnya yang berbeda dengan tempat yang selama ini ia tinggali/huni (dunia nyata/bumi).

          Jarak dan usia jadi sebentuk wajah kembara.
     Dalam penglihatan mata penulis ia seolah merasa berada dalam suatu bayangan yang menuntutnya untuk memilih jalan. Ia harus segera memutuskan akan mengikuti jalan yang mana. Sebab dalam penglihatannya ada banyak jalan di hadapannya. Hal ini semakin menambah kebimbangan dalam jiwa penulis. Ia seolah melihat bayangan demi bayangan masa hidupnya yang sebentar lagi akan ia tinggalkan dan ini menimbulkan pedih dalam jiwa penulis.

          Yang menata ulang peta perjalanan semula.
       Dalam kepedihannya semua kenangan demi kenangan menyeruak keluar dalam ingatannya. Sebuah keputusan berat yang harus ia ambil dalam kekalutan batinnya. Apakah ia harus meninggalkan kebahagiaannya dan menuju pada kehidupan yang lain atau malah kembali pada dunia yang selama ini ia tempati.

      Lengking peluit memanggil rindunya dipintu-pintu.
     Lirik kalimat yang sukar untuk dipahami. Dari pemahaman saya, lirik ini ingin mengungkapkan bahwa dalam ketidaksadarannya, penulis melihat dua pemandangan yang berbeda. Panggilan para malaikat yang akan memberikan kehidupan pada alam yang berbeda yang akan menjanjikan kebahagiaan baru dan akan membawanya pada kekekalan serta jeritan hati orang-orang tercinta yang akan ia tinggalkan. Kata lengkingan diibaratkan pada suara hati orang-orang yang tidak terima pada keadaan yang akan memisahkan penulis dengan keluarga dan kerabatnya. Dan kata rindu menjadi penegas bahwa akan banyak orang terluka hatinya bila penulis akhirnya tak dapat mmebuka matanya kembali dan meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.

        Seperti memanggil sejumlah deritnya yang tersisa.
       Lirik kalimat ini merupakan lirik yang berhubungan dengan lirik kalimat sebelumnya. Kalimat ini adalah sebuah penegasan yang lebih mendalam dimana para keluarga benar-benar berharap bahwa jiwa sang penulis yang sedang sekarat dapat tetap bertahan dan kembali pada mereka untuk berkumpul kembali seperti sediakala.

        Waktu terus bergegas menanggalkan segala yang kupunya.
        Penegasan makna terlihat dalam kata waktu, kata menanggalkan, dan kata yang kupunya. Dalam ketidaksadarannya yang lumayan lama, penulis seakan merasa sendiri dan asing berada dalam tempatnya yang baru. Masa-masa yang ia lewati dalam pencariannya seolah ingin menghapus semua kenangan manis yang ia miliki. Segala hal yang tak ingin ia lupakan sedikit demi sedikit seolah pergi dari pikiran dan hatinya.

        Kesunyian seperti ingin berkata tentang dirinya.
       Dalam kesendiriannya itu hanyalah sepi yang menjadi teman dalam hatinya. Hanya sepi yang ada di sekelilingnya dan cuma sepi yang ia rasakan. Sepi itu seakan ingin mengungkapkan kebenaran yang sejati akan dirinya. Siapa dirinya dan dimana ia sedang berada.  Dalam kesepian itulah kesadarannya seolah bangkit dan membuat ia dapat menemukan kembali sesuatu yang sempat hilang dari hatinya, yaitu jiwanya harus kembali pada raganya untuk berkumpul kembali dengan keluarganya.

       Tentang rumah bilik yang dihidupinya dengan darah sepi.
     Rumah bilik mewakili segala hal yang tidak ingin dilupakan dan ditinggalkan oleh penulis. Semua yang telah tergambar dalam pikirannya yang memberikan kekuatan pada jiwanya untuk kembali pada raganya yang sedang sekarat dalam pembaringan. Kalimat yang dihidupinya dengan darah sepi seakan ingin mempertegas keterangan dalam makna yang terkandung pada kata ‘rumah bilik’. Ungkapan darah sepi bukanlah ungkapan yang sesungguhnya, namun sebuah kata kiasan yang digunakan oleh penulis untuk menambahkan kesan menndalam tentang kenangan-kenangan yang tidak bisa dilupakan oleh penulis. Kata sepi bahkan dapat merupakan kebalikan dari makna yang ingin diungkapkan oleh penulis lewat puisinya ini. Sebab tidak ada kenangan yang sepi. Kata sepi ini menyatakan bahwa dalam sepilah semua kenangan itu menjadi nyata dalam ingatannya, sehingga menimbulkan perasaan rindu yang amat mendalam dalam jiwa sang penulis.

      Ini pemberangkatan matang yang telah dipersiapkan.
     Kalimat ini menyatakan bahwa semua yang terjadi dalam hidup sang penulis untuk kembali pada raganya memanglah sudah takdir dari Tuhan. Keadaan yang dialaminya hanyalah sebuah anugerah dari Tuhan kepadanya untuk dapat melihat dunia yang hanya dapat dilihat dan dijelajahi oleh jiwa-jiwa yang telah pergi meninggalkan raganya untuk selamanya. Semua ini adalah rencana yang telah disusun oleh Tuhan dan sang penulis hanyalah sebagai media perantara yang ditunjuk Tuhan untuk dapat mambagi segala pengalaman rohaninya kepada orang-orang terdekatnya. Tidak ada makhluk manapun yang dapat mengingkari kekuasaan Tuhan dan merubah rencana yang telah Ia tetapkan.

       Tanpa perbekalan atau berbagai perumpamaan.
   Anugerah pengalaman rohani yang diberikan kepadanya oleh Tuhan, bukanlah karena keinginannya dan bukan karena telah ia persiapkan terlebih dahulu. Ini semua adalah murni mikjizat dari Tuhan. Tuhanlah yang berkehendak atas semua ini dan karena Tuhan pulalah sang penulis dapat sadar akan dirinya dan berusaha untuk kembali pada kehidupannya di dunia. Kata ‘perumpamaan’ seolah ingin menyatakan bahwa tidak akan pernah ada kata-kata maupun perbuatan yang dapat melukiskan kekuasaan Tuhan yang amat besar akan semua karya yang telah Ia ciptakan untuk kehidupan semua makhluk ciptaannya tersebut.

      Tak sampai segalanya menahanku berangkat dari sini.
     Kalimat di larik pertama pada stanza ketiga ini memiliki arti yang berbeda pada kalimat pada larik pertama di stanza pertama pada puisi ini. Bila pada stanza pertama kalimat ini menyatakan tentang penjemputan atma/jiwa seorang makhluk, maka pada kalimat ini menyatakan kebalikan dari makna tersebut. Pada kalimat ini penulis seolah ingin melukiskan bahwa ia dapat sadar kembali dan menemukan raganya yang tertinggal adalah berkat dari Tuhan. Apabila Tuhan dapat mengambil raga seseorang, maka Ia juga dapat menciptakan kehidupan baru di dunia ini. Sadarnya penulis dari kejadian ‘mati surinya’ tersebut merupakan sebuah goresan takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang dapat menghalanginya untuk kembali berkumpul dengan keluarga yang mencintainya.

       Dari mesjid aku berkemas, tamasya ke rel yang sama.
     Larik kalimat ini merupakan gambaran nyata dalam kehidupan manusia yang memang harus selalu menjalankan kewajibannya sebagai makhluk beragama. Setelah sadarnya, sang penulis tidak pernah berusaha melupakan dan menyesali segala kejadian yang pernah dialaminya. Melainkan kejadian itu menambah keimanannya kepada Tuhan. Menurut pemahaman saya, dahulunya penulis adalah seseorang yang mungkin tidak begitu memperhatikan masalah agama. Namun dengan kejadin yang telah dialaminya tersebut membuat penulis sadar bahwa dunia ini ada penciptanya dan kita wajib berterimakasih kepada-Nya. Kalimat tamasya ke rel yang sama bukan berarti bahwa penulis akan kembali menjalani kehidupannya dalam kungkungan kepalsuan tetapi mengandung makna bahwa ia akan mencoba untuk hidup lebih baik dan mempergunakan kesempatan yang telah diberikan oleh Tuhan tersebut dengan sebaik-baiknya.

       Memanggul sekopor senja ke stasiun selanjutnya.
    Larik ini merupakan rangkaian yang berkesinambungan dengan larik sebelumnya. Penulis berusaha menjalani kehidupannya dengan melakukan hal-hal yang baik dan sesuai dengan peraturan agama sehingga semakin lama kesucian hatinya semakin tinggi untuk dapat memahami arti hidupnya. ‘Memanggul sekopor senja’ tentu yang dimaksud bukanlah senja dalam arti yang sesungguhnya. Senja disini dapat berarti bahwa menjalani hidup dengan lebih baik. Dan kalimat ‘ke stasiun selanjutnya’ mengandung pengertian bahwa dengan perubahan yang sekarang dapat membawa dirinya pada kehidupan yang lebih baik lagi.

       Di ruang tunggu-ruang tunggu baru.
      Maksud dari larik puisi ini adalah segala hal-hal yang baru saja mulai dilakukan oleh penulis. Kegiatan-kegiatan yang mungkin selama ini tidak pernah penulis lakukan. Sehingga penulis membuat suatu rangkaian rencana untuk menjalani kehidupan yang lebih baik lagi.

       Dari stasiun-stasiun berikutnya.
      Dalam hal ini penulis berusaha merubah hidupnya sedikit demi sedikit/secara bertahap. Pastinya kita semua tahu bahwa perubahan tidak bisa dilakukan secara instant tetapi dilakukan secara berangsur-angsur melalui berbagai tahapan. Untuk itulah penulis juga berusaha menciptakan perubahnnya dengan cara yang bertahap.

        Tak ada lagi yang duduk manis di bangku kayu itu.
       Kalimat ini seakan ingin menggambarkan bahwa kini penulis telah menjadi individu yang baru. Ia telah bisa menciptakan hidupnya menjadi hidup yang lebih bermakna dari hidupnya yang kemarin. Mungkin saja dulu penulis selalu terbayang akan dosa-dosa dari perbuatan yang telah ia lakukan. Namun kini tidak ada lagi rasa sesal dan dosa yang membayang. Semua yang tercipta hanya meninggalkan kesan manis yang tidak akan membawa kehidupannya pada jalan yang sesat.

        Selain sepi menggulung segala yang tersisa.
      Kalimat pada larik terakhir dari stanza terakhir ini mencoba untuk menyatakan kesimpulan dari makna yang terkandung dalam puisi ini. Lirik kalimat ini seolah menyatakan bahwa semua kesan jelek yang membekas pada diri penulis perlahan demi perlahan hilang dan terhapus. Kini penulis telah sukses menciptakan kehidupan yang baru. Menjadi individu yang lebih baik dari kehidupannya terdahulu. Dan itu semua dapat penulis lakukan karena adanya kasih dari Tuhan. Seberapa hinanya kita dan seberapa jahatnya kita, sebenarnya Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dan tetap memberikan kesempatan kepada kita untuk berubah menjadi lebih baik.




BODE RISWANDI

MOMENTO MORI

Tak sampai air menahanku berangkat dari sini
Di ruang tunggu stasiun itu, ia menungguku tiba
Turun dari gerbong kereta yang berbeda
Kemanakah asap di cerobong itu terbang
Dengan wajah riang ia melambai di persimpangan
Jarak dan usia jadi sebentuk wajah kembara
Yang menata ulang peta perjalanan semula

Lengking peluit memanggil rindunya dipintu-pintu
Seperti memanggil sejumlah deritnya yang tersisa
Waktu terus bergegas menanggalkan segala yang kupunya
Kesunyian seperti ingin berkata tentang dirinya
Tentang rumah bilik yang dihidupinya dengan darah sepi
Ini pemberangkatan matang yang telah dipersiapkan
Tanpa perbekalan atau berbagai perumpamaan

Tak sampai segalanya menahanku berangkat dari sini
Dari mesjid aku berkemas, tamasya ke rel yang sama
Memanggul sekopor senja ke stasiun selanjutnya
Di ruang tunggu-ruang tunggu baru
Dari stasiun-stasiun berikutnya
Tak ada lagi yang duduk manis di bangku kayu itu
Selain sepi menggulung segala yang tersisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar