Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Jumat, 08 Juni 2012

RPP PARAGRAF DEDUKTIF DAN INDUKTIF


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)


1. STANDAR KOMPETENSI
    Menulis: Menggungkapkan pikiran, pendapat, dan informasi dalam penulis karangan berpola
                   deduktif dan induktif.

2. KOMPETENSI DASAR
    Menulis karangan berdasarkan topik tertentu dengan pola pengembangan deduktif dan induktif.
   
3. INDIKATOR
    a. Kognitif
     1. Proses
  • Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
  • Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
  • Menemukan paragraf induktif dan deduktif
     2. Produk
  • Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
  • Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
  • Menentukan paragraf induktif dan deduktif
    b. Psikomotor
  • Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif

    c. Afektif
  1. Karakter
  2. Tanggung jawab
  3. Kritis
  4. Disiplin
  5. Keterampilan sosial
  6. Berbahasa santun dan komunikatif
  7. Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
  8. Membantu teman yang mengalami kesulitan

4. TUJUAN PEMBELAJARAN
    a. Kognitif
     1. Proses
         Setelah membaca dan memahami ragam wacana tulis dengan membaca intensif dan membaca
         nyaring, siswa secara berkelompok diharapkan dapat:
  • Menemukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
  • Menemukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
  • Menemukan paragraf induktif dan deduktif

    2. Produk
        Setelah menemukan hasil pencapaian tujuan proses di atas, siswa secara berkelompok
        diharapkan dapat:
  • Menentukan kalimat yang mengandung gagasan utama pada paragraf
  • Menentukan kalimat penjelas yang mendukung kalimat utama
  • Menentukan paragraf induktif dan deduktif

  b. Psikomotor
       Setelah menentukan dan memahami hasil pencapaian tujuan produk di atas, siswa secara
       mandiri diharapkan dapat:
  • Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif 

   c. Afektif  
   1. Karakter
       Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan dalam berperilaku
       yang meliputi sikap:
  • tanggung jawab
  • kritis
  • disiplin
    2. Keterampilan sosial
        Siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dengan memperlihatkan kemajuan kecakapan sosial
        yang meliputi
  • Berbahasa santun dan komunikatif
  • Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok
  • Membantu teman yang mengalami kesulitan

5. MATERI PEMBELAJARAN
  • Paragraf yang berpola deduktif dan induktif
  • Kalimat utama dan kalimat penjelas
  • Perbedaan deduktif dan induktif

6. MODEL DAN METODE PEMBELAJARAN
    Pendekatan                : Pembelajaran Kontekstual
    Model Pembelajaran : Kooperatif Tipe STAD
    Metode                      : tanya jawab, pemodelan, penugasan, dan unjuk kerja


7. BAHAN DAN MEDIA
  • Wacana tulis (artikel)
  • LKS
  • Kertas HVS

8. ALAT
  • Spidol
  • Format evaluasi
  • Pedoman penilaian dan penskoran


                                   SKENARIO PEMBELAJARAN

NoKegiatan Penilaian Pengamatan

Pertemuan I (80 menit)1   2   3   4
A1Kegiatan Awal

Tahap 1 (5 menit)

Pemancingan dengan mula-mula menanyakan kesiapan belajar siswa, lalu menanyakan pengetahuan dan pengalaman siswa tentang paragraf.


Tahap 2 (10 menit)

Pengarahan dengan mula-mula bertanya jawab tentang jenis-jenis paragraf  berdasarkan letak kalimat utamanya, kemudian diakhiri dengan penegasan guru tentang tujuan pembelajaran yang harus dicapai dalam proses pembelajaran pada pertemuan itu.              

B1
Kegiatan Inti (55 menit)


Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok, kemudian memberikan pemahaman kepada siswa mengenai paragraf deduktif dan induktif, serta perbedaan antara kalimat utama dan kalimat penjelas

C1Kegiatan Akhir (10 menit)

  1. Siswa bersama guru merumuskan kesimpulan umum atas semua butir pembelajaran yang telah dilaksanakan;
  2. Siswa  diminta menyampaikan kesan dan saran (jika ada) terhadap proses pembelajaran yang baru selesai mereka ikuti;
  3. Guru menugaskan siswa untuk mencari artikel di media masa yang akan mereka identifikasi paragraf deduktif dan induktif  



          
9. SUMBER PEMBELAJARAN
  • Wacana tulis
  • Materi Essensial MGMP Sekolah
  • Lembar Pegangan Guru
  • LKS 1 ; LKS 2
  • LP 1 ; LP 2
  • Silabus


10. EVALUASI DAN PENILAIAN
    1. Evaluasi
         Evaluasi Proses : dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas peserta  (siswa) dalam
                                     menggarap tugas, diskusi, kegiatan tanya jawab, dan dialog informal.
         Evaluasi Hasil   : dilakukan berdasarkan analisis hasil pengerjaan tugas dan pengerjaan tes, dan
                                     pengamatan unjuk keterampilan (performance).

   2. Penilaian
      a.   Jenis Tagihan Peilaian : LKS 1 dan LP 1,
                                                    LKS 2 dan LP 2,
                                                    LP 4,
                                                    LP 5

             Tugas Individu            : menggunakan LKS 3,
                                                   LP 3

    b.  Bentuk Instrumen Penilaian:
  • Uraian bebas
  • Jawaban singkat
  • Pilihan ganda







Satuan Pendidikan     : SMA
Mata Pelajaran           : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester          : XI/I
Standar Kompetensi   : Membaca
Kompetensi Dasar      : Menemukan perbedaan paragraf induktif dan deduktif melalui kegiatan
                                      membaca intensif


LEMBAR PEGANGAN GURU
 (LPG)

1. Pengertian Paragraf
          Paragraf (dari bahasa Yunani paragraphos, “menulis di samping” atau “tertulis di samping“) adalah Unit terkecil sebuah karangan yang terdiri dari kalimat pokok atau gagasan utama dan kalimat penjelas atau gagasan penjelas. Paragraf dikenal juga dengan nama lain alinea. Paragraf dibuat dengan membuat kata pertama pada baris pertama masuk ke dalam (geser ke sebelah kanan) beberapa ketukan atau spasi.
         Syarat sebuah paragraf di setiap paragraf harus memuat dua bagian penting, yakni :
a. Kalimat utama
        Biasanya diletakkan pada awal paragraf, tetapi bisa juga diletakkan pada bagian tengah maupun akhir paragraf. Kalimat pokok adalah kalimat yang inti dari ide atau gagasan dari sebuah paragraf. Biasanya berisi suatu pernyataan yang nantinya akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya dalam bentuk kalimat penjelas.

b. Kalimat Penjelas
         Kalimat penjelas adalah kalimat yang memberikan penjelasan tambahan atau detail rincian dari kalimat pokok suatu paragraf.

2. Jenis Paragraf Berdasarkan Letak Kalimat Utama
        Letak kalimat utama juga turut menentukan jenis paragraf. Penjenisan paragraf berdasarkan letak kalimat utama ini terbagi atas 4 yakni :

a. Paragraf Deduktif
       Paragraf dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat utama. Kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas yang berfungsi menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya dikembangkan dengan metode berpikir deduktif, dari yang umum ke yang khusus.
       Dengan cara menempatkan gagasan pokok pada awal paragraf, ini akan memungkinkan gagasan pokok tersebut mendapatkan penekanan yang wajar. Paragraf semacam ini biasa disebut dengan paragraf deduktif, yaitu kalimat utama terletak di awal paragraf.

 b. Paragraf Induktif
         Paragraf ini dimulai dengan mengemukakan penjelasan-penjelasan atau perincian-perincian, kemudian ditutup dengan kalimat utama. Paragraf ini dikembangkan dengan metode berpikir induktif, dari hal-hal yang khusus ke hal yang umum.

 c. Paragraf Campuran (Deduktif-Induktif)
         Pada paragraf ini kalimat topik ditempatkan pada bagian awal dan akhir paragraf. Dalam hal ini kalimat terakhir berisi pengulangan dan penegasan kalimat pertama. Pengulangan ini dimaksudkan untuk lebih mempertegas ide pokok. Jadi pada dasarnya paragraf campuran ini tetap memiliki satu pikiran utama, bukan dua.

d. Paragraf Tersebar
        Paragraf ini tidak mempunyai kalimat utama, berarti pikiran utama tersebar di seluruh kalimat yang membangun paragraf tersebut. Bentuk ini biasa digunakan dalam karangan berbentuk narasi atau deskripsi.



DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Yudi (dkk). 2007. Aktif dan Kreatif Berbahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Perbukuan







               
LEMBAR PENILAIAN

LP 1 : KOGNITIF PROSES
Pedoman Penskoran LKS 1
No.Komponen Deskriptor Skor Bobot Skor x Bobot Catatan
1.
Menemukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf
a. Dapat menemukan
    kalimat
    utama  dan kalimat
    penjelas pada semua
    paragraf
b.Hanya dapat
    menemukan
   kalimat utama  dan
   kalimat penjelas pada
   beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat
    menemukankalimat
    utama dan kalimat      penjelas dalam  paragraf.  
2



1



0
5

2.
Menemukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif
a.Dapat menemukan
   paragraf yang berpola
   deduktif dan induktif
   pada semua paragraf
b.Hanya dapat menemukan
   paragraf yang berpola
   deduktif dan induktif
    pada
   beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menemukan
   paragraf yang berpola
   deduktif dan induktif
    pada
   semua paragraph
1



2




0




5


Jumlah
 





Catatan :
0 = Sangat kurang
1  = kurang
2 = baik 

Cara Pemberian Nilai
Rumus : nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100
              


LP 2 : KOGNITIF PRODUK

Pedoman Penskoran LKS 2

No.KomponenDeskriptor Skor Bobot Skor x Bobot Catatan
1.
Menentukan kalimat utama dan kalimat penjelas dalam  paragraf

a.Dapat menentukan
   kalimat utama  dan kalimat
   penjelas
   pada semua paragrafh.
   Hanya dapat menentukan
   kalimat utama  dan
   kalimat penjelas
   pada beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat menentukan
   kalimat utama dan kalimat
   penjelas dalam paragraf
1



2



0

5


2.
Menentukan paragraf yang berpola deduktif dan induktif
a.Dapat menentukan
   paragraf yang berpola
   deduktif dan
   induktif  pada semua
   paragraf
b.Hanya dapat menentukan
   paragraf yang berpola
   deduktif dan induktif
   pada
   beberapa  paragraf .
c.Tidak dapat
    menentukan paragrafyang berpola deduktif dan induktif  pada semua paragraf  
1


2




0
5


Jumlah  




Catatan :
0 = Sangat kurang
1  = kurang
2 = baik 

Cara Pemberian Nilai
Rumus : nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100
              


LP 3 = Psikomotor
Pedoman Penskoran LKS 3
No.KomponenDeskriptor Skor BobotSkor x Bobot Catatan
1.
Menjelaskan perbedaan paragraf deduktif dan induktif
a.Dapat menjelaskan
    dengan sangat jelas dengan bahasayang efektif dan santun.
b.Dapat menjelaskan,namun
   dengan terbata-bata.
c.Tidak dapat menjelaskan
    apa-apa.  
1

2

0

5




Jumlah





   

Catatan :
0 = Sangat kurang
2 = cukup baik
3 = baik 

Cara Pemberian Nilai
Rumus : nilai=(skor perolehan siswa)/(skor maksimum)    X 100





LP 4 = Afektif : Perilaku Berkarakter

Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik            B = memuaskan
C = Cukup baik            D = kurang baik

Format Pengamatan Perilaku Berkarakter
No.Rincian Tugas Kinerja Memerlukan Perbaikan
(D)
Menunjukkan Perbaikan
(C)
Memuaskan (B) Sangat Baik
(A)
1.Tanggung jawab



2.Kritis



3.Disiplin



              


                                                                                                   Hari/Tanggal :

                                                                                                 Guru/Pengamat


                                                                                              (…………………..)
  



LP 5 = Afektif : Perilaku Keterampilan Sosial

Petunjuk :
Berikan penilaian atas setiap perilaku berkarakter siswa menggunakan skala berikut :
A = sangat baik            B = memuaskan
C = Cukup baik            D = kurang baik

Format Pengamatan Keterampilan Sosial
No.Rincian Tugas Kinerja Memerlukan Perbaikan
(D)
Menunjukkan Kemajuan
(C)
Memuaskan (B) Sangat Baik
(A)
1.Bahasa santun dan komunikatif



2.
Partisipasi dalam (kerja sama) kelompok




3.Membantu teman yang kesulitan



   

                                                                                              Hari/Tanggal :

                                                                                             Guru/Pengamat


                                                                                          (…………………..)





MEDIA PEMBELAJARAN

Bacalah Kutipan Artikel Berikut!

Efek Rumah Kaca

       Segala sumber energi yang terdapat di bumi berasal dari matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika mengenai permukaan bumi, energi berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagi radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi. Akibatnya panas akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata  tahunan bumi terus meningkat.
      Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsenterasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya. Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala mahkluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15˚C (59˚F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33˚C (59˚F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18˚C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi). Akibatnya jumlah gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.
      Kenaikan suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan.misalnya naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser dan punahnya berbagai jenis hewan
       Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perbedaan politik dan publik di dunia mengenai tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut. Sebagian besar Negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah

                                                                                                             Kendari,  Desember 2011

       Guru Pamong                                                                                     Mahasiswa KKP 
 


      HARLINA, S.Pd                                                                                         A R I S
NIP  197605292007012012                                                                         A1D1 07 105


                                                                 Mengetahui,
                                               Kepala SMA Kartika VII-2 Kendari



                                                        Drs. H. NP. DAHLAN

Kamis, 07 Juni 2012

TEORI-TEORI PENDIDIKAN

    Manusia lahir dalam keadaan lemah dan belum mampu melakukan aktifitas. Semua hal yang dilakukan bergantung pada bantuan orang lain. Namun walaupun begitu, ia memiliki suatu potensi yang dapat ia kembangkan kelak, selama menuju pada proses pendewasaan diri.
    Untuk menuju proses tersebut dapat dilakukan melalui jalan pendidikan baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Usaha pendidikan dilakukanatau diusahakan berdasarkan keyakinan tertentu. Keyakinan tersebut didasarkan pada suatu pandangan, baik filosofis maupun teoritis.
      Keyakinan ini disebut para ahli sebagai unsur-unsur hukum dasar atau teori-teori pendidikan. Teori ini dipandang sebagai ide-ide dalam filsafat pendidikan yang meliputi:    Pandangan Nativisme
Teori ini awalnya diperkenalkan oleh seorang filsof Jerman Arthur Scopenhauer (1788-1880).
Berpendapat bahwa perkembangan individu semata-mata dibawa oleh faktor yang dibawa sejak lahir. Menurut pandangan ini, hasil pendidikan ditentukan oleh anak itu sendiri. Oleh karena anak sejak lahir sudah membawa pembawaannya sendiri, apakah itu pembawaan baik atau jelek. Dengan demikian, lingkungan kurang memberi pengaruh yang besar, karena semuanya sedah ditentukan oleh bawaan anak semenjak lahir.
Ajaran filsafat Nativisme yang dapat digolongkan filsafat Idealisme berkesimpulan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh faktor hereditas, faktor dalam yang berarti kodrati.
Ajaran Nativisme ini dapat dianggap aliran yang pesimistis, karena menerima kepribadian sebagaimana danya, tanpa kepercayaan adanya nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.
  • Pandangan Naturalis
         Tokoh dari pandangan ini adalah J.J. Rousseau, filsuf Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Berpendapat bahwa semua nak lahir dengan penbawaan baik, dan tak ada seorang anak pun yang memiliki pembawaan jelek. Malah sebaliknya, anak yang mempunyai pembawaan baik menjadi rusak Karena pengaruh lingkungannya. Pandangan ini kurang memandang artinya pendidikan bagi perkembangan anak. Dalam perkembangan selanjutnga pandangan ini banyak ditinggal orang, sebab pada kenyataannya pendidikan justru memberikan konstribusi pokok bagi pendewasaan manusia.

  • Pandangan Environtalisme
       Orang pertama yang mengungkapkan pendapat ini adalah John Locke, seorang filsuf Inggris yang hidup tahun 1632-1704.
     Berpendapat bahwa perkembangan anak sangat bergantung pada lingkungannya. Pandangan ini memberi penekanan bahwa lingkungan member konstribusi bagi pembentukan pribadi anak. Anak ibarat kertas putih yang bias dtulis dengan berbagai warna. Oleh sebab itu, hasil pendidikan dianggap sebagai campur tangan lingkungan terhadapnya.
     Teori ini dikenal sebagai Teori Tabularasa atau Teori Empirisme. Karena lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai manusia, maka teori ini bersifat optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi, sebab perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor - faktor lingkungan, terutama pendidikan.
  •     Pandangan konvergensi
        Pandangan ini pada awalnya dikembangkan oleh William Stern seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup pada tahun 1871-1939.
       Berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, faktor bawaan maupun faktor lingkungan memberikan kontribusi yang sepadan. Pendapat pandangan ini tidak memisahkan secara terkotak-kotak antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan. Faktor bawaan, misalnya bakat seseorang, bisa tidak akan berkembang manakala tidak ada lingungan yang mendukungnya. Sebaliknya lingkungan yang baik akan kurang bermakna apa-apa manakala anak sendiri tidak menunjukkanbakat atau kemampuan untuk mengembangkan diri.
        Ini mengandung maksud bahwa anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah makhluk yang memerlukan bantuan untuk berkembang ke arah kedewasaan. Oleh karena itu dalam tahapan selanjutnya ia perlu dibimbing dan diberi pendidikan kearah pendewasaan dirinya.
         Pandangan ini meyakini bahwa perkembangan anak adalah hasil perpaduan antara pembawaan dan lingkungan.  Aliran ini mengakui akan kodrat manusia yang memiliki potensi sejak lahir, namun potensi itu akan berkembang menjadi baik manakala mendapat sentuhan pengaruh lingkungan yang menopang perkembangan dirinya.

Senin, 04 Juni 2012

WANITA DALAM PANDANGAN HINDU

Om Awighnamastu.
Om Swastyastu.

        Kata Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya "sendiri" dan Nittha artinya "suci". Jadi Svanittha artinya "menyucikan sendiri" kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau "pengamal Dharma". Dari sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya "bibit" atau janin yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbhava atau reinkarnasi, sebagai salah satu Srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu.
         Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/ tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi.
         Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada di dalam kamar agar terlindung dari mara bahaya. Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Kurawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang.
           Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya. Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana bahwa ia sedang menstruasi, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan oleh Bima dan Drupadi menebus kaul/sumpahnya dengan mencuci rambutnya menggunakan darah Dursasana.
          Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan fisik dan mental. Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka bahwa wanita yang sedang menstruasi tergolong “cuntaka” atau “sebel” atau dalam bahasa sehari-hari disebut “kotor,” sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura.

        Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati. Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak.
          Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga, dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan, dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak.
          Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah “Dharma Sampati” artinya “Tindakan Dharma” karena melalui pernikahan, ada kesempatan reinkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia. Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal “Dharma” dan Suami disebut sebagai pengamal “Shakti”.
         Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti: mengandung, melahirkan, memelihara bayi, dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dan lain-lainnya. Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya.
          Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): “rwa-bhineda” (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua. Maka dalam Agama Hindu perceraian sangat dihindari karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

       Ucapan “sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam Menawadharmasastra, III, 56:
YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH

Artinya : Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

Lebih tegas lagi dalam pasal berikutnya: 57:
SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA

Artinya : Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Dan pasal 58:
JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH

Artinya : Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

          Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki.
         Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menjama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.
       Tanpa wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti sehingga seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya melakukan berata “nyukla brahmacari” artinya tidak kawin seumur hidup seperti yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan tertentu, yaitu memberikan kesempatan kepada keturunan adik tirinya menduduki tahta kerajaan.
       Wanita Hindu juga dibelenggu oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga membedakan perilakunya di masyarakat dengan kaum lelaki. Pada beberapa hal ia tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja wanita “dibolehkan” memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana sendirian, berbicara bebas, dan lain-lain.
        Satu hal yang sangat utama diperhatikan bahwa wanita dalam keberadaannya di masyarakat sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, ada yang dilecehkan keberadaannya, terjadinya kasus kekerasan terhadap wanita, hak-hak sebagai wanita yang sejati sering dimanipulasi, adanya perlakuan yang tidak adil terhadap wanita, dan masih banyak lagi model ketidakpantasan prilaku terhadap wanita itu sendiri, baik oleh antar wanita maupun antara wanita dengan lawan jenisnya. Yang jelas, bahwa wanita sering mengalami nasib yang gonjang-ganjing dalam berbagai sisi.
          Wanita Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan kehidupan sebagaimana mestinya. Persoalannya adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula sebagai “pengamal Dharma” dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi.
         Berbagai upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal, mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk menjadi istri atau pendamping suami yang baik.
 
        Demikianlah yang dapat saya bagikan dalam kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon dimaafkan. Karena kita saya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, dan hanya Ida Sang Hyang Widhi yang sempurna di dunia ini.
 
Om A no bhadrah krattavo yantu visvatah.
Om Santi, santi, Santi, Om.

ARTI DAN FUNGSI BAHASA JURNALISTIK

A.    ARTI DAN DEFINISI BAHASA JURNALISTIK
1.    Pengertian Bahasa Jurnalistik
           Semua berita dan laporan yang disajikan dalam bahasa yang mudah kita pahami, lazim disebut bahasa jurnalistik. Berita yang diamksud adalah berita surat kabar, tabloid, dan majalah, serta siaran berita dan radio, dan juga tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi.
           Bahasa jurnalistik sangat demokratis dan populis. Demokratis berarti dalam bahasa jurnalistik tidak dikenal tingkat, pangkat, dan kasta. Contohnya, kucing makan, saya makan, guru makan, presiden makan. Semua diperlakukan sama tanpa ada yang diistemewakan. Sedangkan populis berarti bahasa jurnalistik menolak semua klaim dan paham yang ingin membedakan si kaya dan si miskin, si pintar dan si bodoh. Bahasa jurnalistik diciptakan untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa serta di darat dan di laut.

2.    Definis Bahasa Jurnalistik
            Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari (Sumadiria, 2005:2). Dalam kamus jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis untuk surat kabar, majalah, atau berkala lainnya (Assegraff, 1983:9).
         Adinegoro menegaskan, jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya (Amar, 1984:30).
        Dari pendapat para pakar tersebut, secara teknis jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya (Sumadiria, 2005:3).
Seorang jurnalistik harus terampil berbahasa. Keterampilan berbahasa itu ialah keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampila membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill).
        Wartawan senior terkemuka, Rosihan Anwar mengatakan bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa pers ialah ragam bahasa yang memiliki sifat khas. Bahasa jurnalistik harus didasarkan kepada bahasa baku, memperhatikan ejaan yang benar. Dalam kosa kata, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan masyarakat.
         Kata dan kalimat dalam bahasa jurnalistik harus efektif. Kalimat efektif adalah kaliamt yang dengan tepat mewakili atau menggambarkan pikiran dan atau perasaan penulis sehingga menimbulkan gagasan yang sama tepatnya dalam pikiran dan atau perasaan pembaca (Yohanes, 1991:29).
        Berpijak pada pendapat para pakar tersebut, maka bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh wartawan, redaktur, atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan, dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting, dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya.

B.    FUNGSI UTAMA BAHASA
1.    Alat untuk Menyatakan Ekspresi Diri
           Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain: agar menarik perhatian orang lain terhadap kita dan keinginan untuk membebaskan diri dari semua tekanan emosi.

 
2.    Alat Komunikasi
         Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, mengarahkan, dan merencanakan masa depan kita. Ia juga memungkinkan manusia menganalisis masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang.

3.    Alat Mengadakan Integrasi dan Adaptasi Sosial
              Anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, memungkinkan setiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan  kelompok sosial yang dimasukinya, melakukan kegiatan kemasyarakatan, menghindari konflik, untuk memperoleh efisiensin yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakat.
          Melalui bahasa, setiap anggota masyarakat perlahan-lahan belajar mengenai segala adat-istiadat, tingkah laku, dan tata krama masyarakat. Ia menyesuaikan diri (adaptasi) dengan semuanya melalui bahasa.

4.    Alat Mengadakan Kontrol Sosial
             Kontrol sosial adalah usaha untu mempengaruhi tingkah laku dan tindak-tanduk orang lain. Tingkah laku itu dapat bersifat terbuka (overt: yaitu tingkah laku yang dapat diamati atau diobservasi), dapat pula bersifat tertutup (covert: yaitu tingkah alku yang tidak dapat diobservasi). Semua kegiatan sosial akan berjalan dengan baik karena dapat diatur dengan mempergunakan bahasa.

Menurut para pakar bahasa Indonesia, bahasa baku mendukung empat fungsi, yaitu:
 
a.    Fungsi Pemersatu
        Bahasa baku menghubungkan semua penutur berbagai dialek bahasa dan mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat bahasa, serta meningkatkan proses identifikasi penutur dengan masyarakat itu. Bahasa Indonesia ragam tulisan yang diterbitkan di Jakarta selaku pusat pembangunan agaknya dapat diberi predikat pendukung fungsi pemersatu.

b.    Fungsi Pemberi Kekhasan
         Fungsi pemberi kekhasan yang diemban oleh bahasa baku membedakan bahasa itu sendiri dengan bahasa lain. Karena fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan kepribadian nasional masyarakat bahasa yang bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Melayu atau dari bahasa Melayu di Singapura dan Brunei Darussalam.

c.    Fungsi Pembawa Wibawa
            Fungsi pembawa wibawa bersangkutan dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan peradaban lain yang dikagumi lewat perolehan bahasa baku sendiri. Menurut pengalaman, sudah dapat disaksikan di beberapa tempat bahwa penutur yang mahir berbahasa Indonesia dengan benar dan baik memperoleh wibawa di mata orang lain.

d.    Fungsi sebagai Kerangka Acuan
             Bahasa baku berfungsi sebagai kerangka acuan bagi pemakain bahasa dengan adanya norma dan kaidah (yang dikodofikasi) yang jelas. Bahasa baku juga menjadi kerangka acuan bagi fungsi estetika bahasa yang tidak saja terbatas pada bidang susastra, tetapi juga mencakup segala jenis pemakain bahasa yang menarik perhatian karena bentuknya khas, seperti di dalam permainan kata, iklan, dan tajuk berita (Alwi, Darjowidjojo, Lapoliwa, Moeliono, 2000:14-16).

       Dalam pandangan Halliday seperti dikutip Azies dan Alwasiah (2000:17), fungsi bahasa mencakup tujuh hal. Pertama, fungsi instrumental  yakni menggunakan bahasa untuk memperoleh sesuatu. Kedua, fungsi regulatori yakni menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. Ketiga, fungsi interaksional yakni menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain. Keempat, fungsi personal yakni menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan makna. Kelima, fungsi heuristik yakni menggunakan bahasa untuk belajar dan menemukan makna. Keenam, fungsi imajinatif yakni menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi. Ketujuh, fungsi representasional yakni menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.
            Fungsi bahasa yang pokok adalah fungsi komunikasi disamping sebagai fungsi ekspresi diri. Komunikasi dan ekspresi ini merupakan dua fungsi bahasa yang tidak dapat dipisahkan meskipun secara konseptual dapat dibedakan. Apabila kedua fungsi tersebut diurutkan menurut prosesnya, maka fungsi utama adalah fungsi ekspresi, sedangkan fungsi kedua adalah fungsi komunikasi (Sudiati dan Widyamartaya, 1996:9).

C.    KARAKTERISTIK BAHASA JURNALISTIK
           Secara spesifik bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi, bahasa jurnalistik media on line internet.
Ada 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut.

1.    Sederhana
            Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen; baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya.

2.    Singkat
          Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Konsekuensinya apapun oesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3.    Padat
         Menurut Patmono SK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalistik (1999:45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca.

4.    Lugas
        Lugas berarti tegas, tidak ambigu, dan tidak membingungkan khalayak pembaca. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5.    Jelas
          Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya. Jelas disini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat-keterangan (SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.

6.    Jernih
        Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, dan tidak menyembunyikan sesuatu. Kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan publik.

 
7.    Menarik
         Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tidur terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, baku. Nilai dan nuansa edukatif juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.

8.    Demokratis
        Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa. Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukanyang sama di depan hukum sehingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda.

9.    Populis
        Populis berarti setiap kata, istilah, atau kaliamt apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat.

10.    Logis
           Logis berarti yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraf  jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan mencerminkan nalar. Disini berlaku hukum logika.

11.    Gramatikal
            Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku.  Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat.
 
12.    Menghindari Kata Tutur
             Kata tutur adalah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur adalah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh: dibilangin, kelar, mangkanya, dikasih tahu, semangkin.

13.    Menghindari Kata dan Istilah Asing
              Berita ditulis untuk dibaca dan didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komnikatif, juga sangat membingungkan.

14.    Pilihan Kata (Diksi) yang Tepat
           Bahasa jurnalistik sangan menekankan efektivitas. Setiap kaliamt yang disusun tidak hanya produktif tetapi juga tidak boleh keluar asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khalayak. Plihan kata atau diksi yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik bisa menimbilkan akibat fatal.

15.    Mengutamakan Kalimat Aktif
           Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik harus jelas susunan katanya dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman.

16.    Menghindari Kata atau Istilah Teknis
             Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut, apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Caranya ialah dengan menghindari penggunaa kata atu istilah-istilah teknis.

 
17.    Tunduk Kepada Kaidah Etika
           Salah satu fungsi pers adalah edukasi, mendidik (to educated).fungsi ini tidak saja harus tercermin dalam isi berita, gambar, dan artikelnya, tapi juga harus tampak pada bahasanya. Pers wajib tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, baik, dan benar. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, porno, vulgar, sumpah serapah, hujatan, dan makian yang sangat jauh dari norma sosial, budaya, dan agama.

D.    KEBIJAKAN REDAKSIONAL MEDIA
            Penggunaan bahasa jurnalistik dalam surat kabar, tabloid, buletin, majalah, radio, televisi, atau media online internet tidak bersifat tiba-tiba atau hadir begitu saja. Setiap media biasanya memiliki buku pedoman atau panduan masing-masing dalam penetapan bahasa jurnalistik. Buku pedoman tersebut harus berpijak pada empat faktor, yaitu:

1.    Filosofi Media
           Filosofi media berarti sesuatu yang menjadi cita-cita ideal, landasan pokok, atau pijakan dasar yang senantiasa menjiwai seluruh kebijakan, peraturan, serta orientasi sikap dan perilaku suatu media dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Setiap media harus memiliki idealisme. Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala cara dan daya yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, adalah contoh idealisme yang harus senantiasa diperjuangkan pers (Sumadiria, 2004:120).

2.    Visi Media
          Visi berarti pandangan atau jangkauan masa depan yang ingin diraih. Setiap media diisyaratkan memiliki visi yang jelas dalam menyikapi persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan. Visi merupakan penjabaran dari landasan filosofi dan ideologi yang dianut suatu media. Contoh visi media adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan supremasi hukum, atau membangun masyarakat adil dan makmur.

3.    Misi Media
           Misi berkaitan dengan tugas pokok yang diemban dan tujuan yang ingin dicapai. Visi baru bersifat konseptual, sedangkan misi sudah bersifat operasional, sekaligus merupakan penjabaran dari apa yang sudah dinyatakan dalam visi.

4.    Kebijakan Redaksional Media
             Semua segi filosofi, visi, dan misi penerbitan akan dijabarkan lebih operasional dan spesifik dalam bentuk kebijakan penerbitan. Kebijakan penerbitan mencakup dua bagian besar, yaitu kebijakan komersial dan kebijakan redaksional. Kebijakan komersial menunjuk kepada kebijakan perusahaan. Kebijakan ini mengatur bagaimana perusahaan dikelola dan dikembangkan. Salah satu prinsip dasar dalam kebijakan perusahaan tentu menekankan pada pengelolaan finansial perusahaan secara efisien dengan tingkat pendapatan dan keuntungan secara maksimal.
         Kebijakan komersial mengatur segi-segi usaha agar perusahaan mencapai kemajuan dan keuntungan maksimal. Sedangkan kebijakan redaksional lebih memusatkan perhatian kepada bagaimana aspek-aspek dan misi ideal yang dijabarkan dalam peliputan dan penempatan berita, laporan, tulisan, dan gambar yang sesuai dengan kepentingan dan selera khalayak yang relatif beragam.

Minggu, 03 Juni 2012

HIPONIM & REDUDANSI

1.    Hiponim
         Istilah hiponimi (Inggr. hyponymy) berasal dari kata Yunani Kuno yaitu dari kata onoma ‘nama’ dan kata hypo ‘di bawah’. Jadi, bila di Indonesiakan kurang lebih artinya ‘nama (yang termasuk) di bawah nama lain’. (Verhaar,1981:137). Hiponim (Inggr. hyponym) ialah ungkapan (kata, biasanya; kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Istilah ‘hiponim’ dalam bahasa Indonesia dapat berupa kata benda, dapat pula berupa kata sifat (Inggr. hyponymous).
Misalnya kita dapat mengatakan bahwa ungkapan A adalah hiponim terhadap ungkapan B. Contoh dalam bahasa Indonesia: kata mujair, lele, gabus, paus, adalah hiponim terhadap kata ikan.
Contoh: 1.a. Nelayan menangkap ikan.
                 b. Nelayan menangkap mujair.

       Bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam bentuk ujaran yang lain disebut Hiponim atau hiponimi.
Contoh:
1.    Mawar, Melati, dan Anggrek adalah hiponim dari bunga.
2.    Jip, sedan, dan truk adalah hiponim dari kendaraan bermotor.
3.    Kendaraan bermotor, sepeda, dan becak adalah hiponim dari kendaraan.

Contoh:
1.    a. Ibu membeli bunga di pameran bunga.
       b. Ibu membeli anggrek di pameran bunga.
2.   a. Ali berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan bermotor
      b. Ali berangkat ke sekolah dengan menggunakan sedan.

       Hiponim tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Anggrek adalah hiponim dari bunga, tapi bunga bukan hiponim dari mawar, melainkan bunga merupakan hipernim. Begitu juga pada contoh kedua. Sedan merupakan hiponim dari kendaraan bermotor, tetapi kendaraan bermotor bukan hiponim dari sedan malainkan merupakan hipernim.
      Hiponim sangat berbeda dengan sinonim, antonim dan homonim. Bila sinonim, antonim, dan homonim, menyatakan suatu relasi yang berlaku ke dua arah. Seperti: bila A sinonim dengan B, maka sebaliknya pula. Bila A antonim terhadap b, maka begitu juga sebaliknya. Dan bila A homonim terhadap b, begitu pula sebaliknya.
      Dalam hal hiponim, relasi hiponim yang bersangkutan hanya berlaku ke satu arah. Misalnya: merah termasuk dalam arti berwarna (sebagai hiponimnya), tetapi jelas bahwa berwarna tidak ‘di bawah’ merah, melainkan justru ‘di atasnya’. Maka dari itu, para ahli semantik menyebut kebalikan dari hiponim sebagai ‘hypernim’.

2.   Redundansi
      Istilah redundansi (redudancy) Inggrisnya, kata sifatnya redudant sedangkan bahasa Indonesianya redudan, sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Sebagai contoh kita dapat bertitik-tolak dari konsep perifrase (Verhaar,1981:137).
          Misalnya bila kalimat Saya diundang teman. diperpanjang menjadi Saya diundang oleh teman. Maka yang terakhir adalah poerifrase (sekaligus parafrase) dari kalimat pertama. Perbedaan diantaranya hanya konstituen oleh. Banyak linguis mengatakan bahwa konstituen oleh itu dalam kalimat kedua tadi adalah ‘redudan’, yaitu tidak diperlukan untuk mendapatkan makna penuh.
Namun pendapat tersebut mengacaukan makna dan informasi. Informasi kedua kalimat tadi memang sama, entah ada konstituen oleh atau tidak. Tetapi maknanya tidak sama. Memang sulit menentukan persis perbedaan makna mana yang terdapat. Misalnya kita dapat mengatakan bahwa penambahan konstituen oleh lebih menonjolkan sifat agentif dari sisa kalimat sesudah diundang. Kiranya ada kemungkinan lain untuk merumuskannya. Tetapi yang penting disini ialah prinsip yang sudah dirumuskan, yaitu informasi tidak boleh disamakan dengan makna. Yang pertama terdapat sebagai fenomena luar ujaran, yang kedua adalah sebagai fenomena dalam ujaran. Dan bila bentuk berbeda, maknanya harus dianggap berbeda pula.
       Redundansi adalah penggunaan unsur-unsur segmental secara berlebihan dalam suatu ujaran. Ukuran untuk menyatakan suatu kata itu redundans atau tidak adalah berubahkah informasi yang terkandung dalam suatu ujaran apabila kata tersebut dihilangkan. Bila informasi tersebut tidak berubah, maka kata tersebut adalah redundans.
       Sebagai contoh, dalam kalimat “Pak Petrus mengenakan kemeja berwarna putih agar supaya terlihat bersih”. Penggunaan kata “berwarna” dan kata “supaya” adalah berlebih-lebihan atau redundansi, karena tanpa kedua kata itu pun, informasi yang disampaikan kedua klausa itu sama.
Redundansi dipermasalahkan dalam ragam bahasa baku dan ragam bahasa pers, karena kedua ragam bahasa tersebut menuntut efisiensi kalimat. Redundansi ini dapat kita temukan dalam ragam bahasa sehari-hari. Misalnya, dalam kalimat “Suer, gue lihat sendiri, duit si Amin beneran banyak banget deh”. Penggunaan salah satu dari kata kata “beneran” atau kata “banget” itu redundansi. Walau begitu, hal itu tetap digunakan oleh subyek pembicara karena dia hendak menekankan nuansa makna jumlah uang yang sangat banyak.
        Contoh lain adalah: “Jagalah kebersihan lingkungan, agar supaya kita terbebas dari berbagai macam penyakit.” Penggunaan kata agar dan supaya sangatlah tidak afektif. Oleh karena itu kata agar dan supaya dapat dikatakan sebagai redundansi. Penggunaan kata agar dan supaya dapat dipilih salah satunya agar kontruksi kalimat tersebut mejadi kalimat yang lebih efektif. Seperti: “Jagalah kebersihan lingkungan, agar kita terbebas dari berbagai macam penyakit.” Dan dalam kontruksi kalimat “Jagalah kebersihan lingkungan supaya kita terbebas dari berbagai macam penyakit.”

SEJARAH PRAGMATIK

       Seorang filosof yang bernama Charles Morris, memperkenalkan sebuah cabang ilmu yaitu pragmatik. Pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang menginterpretasikan tanda itu (Moris, 1938: 6 dalam Levinson, 1997: 1).
       Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
        Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, ujaran mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
         Menurut pendapat Parker (1986) pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, hal ini mempunyai maksud bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Antara studi tata bahasa dan pragmatik dibedakan menurut Parker.
       Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
       Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
         Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
        Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
        Tradisi yang keempat adalah tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
        Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
       Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono

       Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).
       Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)

        Dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut.
          Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa

Jumat, 01 Juni 2012

ANALISIS PUISI "KALAU KAU LUPAKAN AKU" KARYA PABLO NERUDA

      Puisi Pablo Neruda yang berjudul ‘Kalau Kau Lupakan Aku’ ini terdiri dari enam stanza dan empat puluh delapan larik. Puisi ini merupakan sebuah puisi yang bertemakan tentang percintaan.
       Puisi ini menceritakan tentang keinginan penulis yang tulus berasal dari dalam lubuk hati penulis yang terdalam akan permintaannya kepada kepada kekasih pujaan hatinya. Puisi ini mengisahkan kata hati penulis yang ingin agar kekasih hatinya tahu mengenai perasaan penulis yang sesungguhnya. Betapa cintanya penulis kepada kekkasih hatinya tersebut dan betapa perih serta sakit yang akan dirasakan oleh penulis apabila kekasih hatinya tersebut pergi meninggalkannya.
      Menurut saya, puisi ini adalah puisi yang lumayan dekat dalam hati masyarakat pembaca, sebab memang puisi yang bertemakan tentang percintaan semacam ini terasa begitu gampang untuk dihayati dan dimengerti serta sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai manusia yang setiap saat membutuhkan kasih sayang serta perhatian.
     Pablo Neruda seolah sangat mengerti tentang tema-tema kehidupan dan cinta kasih ini. Itu terlihat dari karyanya yang memang berkisaran pada kisah remaja dan percintaan.
Puisi ini menggambarkan sebuah pengharapan dan penantian cinta yang nantinya akan memberikan kebahagiaan pada kedua insan yang sedang memadu kasih. Sebuah hubungan yang dijalani atas dasar kesetiaan walaupun hubungan tersebut dijalani dalam jarak yang berjauhan. Disitulah kesetiaan dan pengorbanan menjadi hal yang sangat mengharukan dan menjadi kekuatan dalam puisi ini.
Makna yang dapat saya ambil dari puisi Pablo Neruda yang berjudul ‘Kalau Kau Lupakan Aku’ ini adalah :

Kumau kau mengerti
Satu hal ini.
      Disini penulis menyatakan bahwa ia menginginkan seseorang untuk mengerti sesuatu yang ingin ia katakan. Tentunya yang ingin penulis katakan adalah tentang perasaannya dan juga kegundahan yang selama ini penulis rasakan. Penulis ingin ada seseorang yang mau mendengar serta mengerti tentang ujarannya tersebut. Dan penulis menginginkan bahwa yang dapat mengerti dirinya tersebut adalah kekasihnya. Penulis ingin memberikan sebuah pengertian dan harapan kepada kekasihnya, dengan harapan nantinya tidak akan ada kekecewaan di dalam hati kedua insan ini.

Kau tahu semua ini:
     Kalimat pada larik pertama di stanza kedua ini memberikan makan bahwa  penulis ingin menegaskan bahwa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh penulis bukanlah hal yang luar biasa, namun sesuatu yang biasa. Sesuatu yang telah diketahui oleh kekasihnya tersebut. Namun dalam puisi ini penulis ingin mempertegas kembali tentang semua itu agar tercipta saling pengertian antara penulis dan kekasihnya tersebut.

Kalau aku memandang
Bulan kristal, memandang ranting merah
Musim gugur yang bergerak lambat di jendelaku,
       Ketiga larik ini merupakan sebuah kesatuan yang utuh, dituliskan dalam larik yang berbeda namun berhubungan satu dengan yang lainnya. Pada larik ini penulis sebenarnya menggunakan perumpamaan untuk melukiskan perasaannya. Ini dapat dilihat dari kata ‘bulan kristal, ranting merah, musim gugur, dan bergerak lambat di jendelaku’. Tentunya kita semua tahu bahwa tak ada bulan kristal, yang ada hanyalah bulan purnama. Dimana pada saat purnama bulan itu bulat sempurna sehingga pancaran sinarnya sangat benderang bagaikan sebongkah kristal yang berpendar di dalam kegelapan.
        Begitu juga dengan kata ranting merah, paduan kedua buah kata ini merupakan kiasan dari arti yaitu pada saat penulis menatap dunia yang menjelang pagi dimana penulis dapat melihat tombak-tombak halus sinar sang mentari yang berwarna jingga kemasan. Seolah-olah bagaikan lukisan ranting pohon besar yang berwarna merah dan melambai-lambai menyambut datangnya fajar.
       Dan arti dari kata musim gugur adalah pemandangan pada sore hari. Pada sore hari tentunya daun-daun berguguran setelah saharian diterpa oleh cahaya matahari yang lumayan terik. Selain itu kata musim gugur ini juga berarti adalah pemandangan pada saat gugurnya sang mentari yang kambali pada peraduannya. Sebuah pemandangan alam yang indah dimana lagit berwarna merah dengan garis-garis siluet tajam yang mengitarinya.
       Sedangkan kalimat bergerak lambat di jendelaku berarti bahwa perjalanan hidup/hari-harinya penulis rasakan berjalan dengan sangat lambat. Ini merupakan gambaran perasaan penulis. Perpauan larik ini mengandung satu makna yang dituliskan dengan sangat indah oleh penulis. Setelah menguraikan kata demi kata akhirnya kita akan mengerti bahwa maknanya merupakan gambaran perjalanan hari-hari manusia, dari semenjak matahari terbit hinga matahari terbenam kembali. Dan ini khusus pada perjalanan hari-hari yang dirasakan oleh penulis.

Kalau kusentuh
Di dekat perapian
Abu lembut halus
Atau tubuh keriput kayu api,
Semuanya ini membawaku padamu,
         Perpaduan antara kelima larik ini kambali merupakan sebuah perumpamaan yang digunakan oleh penulis untuk melukiskan kejadian-kejadian dan kisah-kisah dari keseharian dalam perjalanan hidupnya.
        Kalau kusentuh, merupakan pengartian mengenai apa saja yang ingin dan akan dilakukan oleh penulis. Sedangkan kalimat  didekat perapian mengandung arti mengenai perasaan penulis yang menggelora karena rindunya kapada sang kekasih pujaan hatinya yang telah lama terbendung.
       Abu lembut halus atau tubuh keriput kayu api, menyatakan tentang pekerjaan yang dilakukannya setiap hari. Kekasihnyalah yang menjadi penyemangat dalam dirinya sehingga menjadi obat yang paling mujarab bagi penulis untuk tetap berkarya dan bekerja menyelesikan semua tugas-tugasnya.
     Semuanya ini membawaku padamu, merupakan pernyataan bahwa penulis selalu memikirkan kekasih hatinya setipa waktu. Apapun yang dikerjakan dan dilihat oleh penulis selalu membuatnya semakin rindu pada kekasihnya tersebut. Tak ada hari yang dilalui tanpa memikirkan pujaan hatinya.

Seolah semua yanga ada,
Aroma, cahaya, logam,
Adalah kapal kapal kecil
Yang berlayar
Menuju pulau-pulaumu yang menungguku itu.
     Gabungan larik ini sebenarnya masih berhubungan dengan larik-larik sebelumnya, sebab larik-larik ini juga terdapat pada satu stanza yang sama, yaitu apda stanza kedua. Jadi larik-larik ini memberikan suatu perpaduan makna yang saling terkait dengan yang lainnya.
    ‘Seolah semua yang ada, aroma, cahaya, logam’ merupakan sebuah kiasan yang mewakili perwujudan dari segala perasaan penulis. Apa yang penulis rasakan, apa yang penulis lihat, apa pun yang disentuh oleh penulis, dan semua wangi-wangian dan aroma yang terhirup oleh hidung penulis.
       Adalah kapal kapal kecil yang berlayar menuju pulau-pulaumu yang menungguku itu. Sebuah kalimat yang kompleks dan berarti sangat mendalam. Gabunagn kalimat pada larik ini merupakan rangkaian makna yang menyatakan bahwa apapun yang dirasakan, dilihat, dan dihirup oleh penulis selalu membawa alam pikiran penulis tertuju pada kekasihnya yang menunggunya diseberang daerah sana.

Jadi
Kalau sedikit demi sedikit kau berhenti mencintaiku
Sedikit demi sedikit aku akan berhenti mencintaimu.
       Stanza ketiga ini memberikan makna yang berbeda dari rangkaian kalimat pada stanza pertama dan kedua. Stanza ketiga ini merupakan sebuah gambaran tentang apa yang akan dilakukan oleh penulis apabila kekasih hatinya itu berpaling darinya dan mencoba untuk melupakan cinta yang selama ini telah mereka jalin dan selalu berusaha mereka jaga. Larik ini menyatakan sebuah hubungan sebab akibat dari perjalanan cinta antara penulis dan kekasihnya tersebut. Mengenai sebuah gambaran kejadian yang akan datang pada masa yang belum diketahui.

Kalau tiba-tiba
Kau melupakanku
Jangan lagi cari aku,
Karena aku pasti sudah akan melupakanmu.
          Gabungan kempat larik ini adalah kalimat puitis yang terdapat pada stanza keempat dalam puisi ini. Masih merupakan pernyataan dari hati penulis yang akan terluka apabila kekasih hatinya berpaling darinya. Penulis tidak mau bertemu dengan kekasihnya lagi apabila kekasihnya tersebut mencoba untuk melupakannya. Dan bila itu terjadi maka penulis juga pasti akan melupakan kekasihnya.
 
Kalau kau pikir lama dan membosankan
Angin musim
Yang berhembus dalam hidupku,
           Bermakna apabila sang kekasih merasa tidak tahan lagi dan merasa bosan untuk menunggu kedatangan penulis yang pergi jauh dari sisinya. Angin musim yang berhembus dalam hidupku, merupakan pernyataan penulis bahwa perjalanan penulis dalam meninggalkan kekasihnya itu akan memakan waktu yang sangat lama. Dan mungkin itulah yang akan mendasari perasaan kekasihnya yang akan merasa jenuh dalam penantiannya menunggu kedatanagn penulis.

Dan kau putuskan
Untuk meninggalkanku di pantai
Hati di mana akarku berada,
       Penulis mencoba untuk menggambarkan keinginan hati dari kekasihnya yang berniat untuk meninggalkan penulis dan memutuskan jalinan cinta yang selama ini telah  mereka bina. Kalimat ‘hati dimana akarku berada’ yaitu bahwa selama ini hati dan cinta penulis telah ia berikan seutuhnya kepada kekasihnya. Dan kata akar menjadi penegas serta penjelas bahwa betapa cintanya penulis kepada kekasihnya tersebut. Sebab cintanya sangat tulus berasal dari jiwanya.

Ingatlah
Hari itu juga,
Detik itu juga,
Aku akan melepaskan tanganku
Dan akarku akan berlayar
Mencari negeri baru.
      Kata-kata ini menjadi sesuatu yang akan dilakukan oleh penulis sebagai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan oleh kekasihnya. Apabila kekasihnya melupakan dan meninggalkan penulis maka pada saat itu juga penulis akan menutup pintu hatinya dan akan mengubur cintanya yang dalam bersama kepergian kekasihnya itu. Ini tergmabar jelas dari kalimat aku akan melepaskan tanganku.
       Sedangkan dua larik terakhir yang berbunyi dan akarku akan berlayar mencari negeri baru, menyatakan bahwa bila hal itu terjadi maka penul;is akan pergi dari sisi hati dan raga kekasihnya untuk mencari pujaan hati yang baru. Disini penulis merupakan seseorang yang berhati besar dan tidak mau larut dalam kesedihan yang mendalam. Kedua larik tersebut seakan menggambarkan kekerasan hati dari seorang penulis.

Tapi
Kalau setiap hari,
Setiap detik,
Kau rasa kau memang ditakdirkan untukku
Dengan kemesraan yang tak terkira,
         Apabila pada stanza ketiga, keempat dan kelima mengambarkan kekerasan hati penulis yang akan terluka apabila ditinggalkan oleh kekasihnya, maka pada stanza keenam yang merupakan stanza terakhir ini menyatakan kebalikan dari semua itu.
        Larik-larik tersebut menggambarkan pengharapan hati penulis agar kekasih hatinya itu selalu bersabar menunggu kedatangan penulis. Dan penulis berharap dalam penantiannya tersebut kekasih hatinay itu tidak akan pernah berpaling darinya, namun perpisahan tersebut dapat semakin mempererat jalinan kasih yang telah diikrarkan oleh penulis bersama kekasihnya tersebut.

Kalau setiap hari sebuah bunga
Merambat naik ke bibirmu mencariku,
       Kedua larik tersebut bermakna bahwa semakin hari cinta kekasih dari penulis itu semakin bertambah kepada penulis. Dan kekasih penulis masih selalu setia pada penulis dalam penantiannya.

Ah cintaku, kekasihku,
Dalam diriku semua api itu akan terbalas,
Dalam diriku tak ada yang akan padam atau terlupakan,
         Menggambarkan kesyukuran hati penulis akan kesetiaan dan cinta yang diberikan oleh pujaan hatinya itu kepada penulis. Penulis tidak akn pernah melupakan semua cinta dan pengorbanan kekasihnya dan cinta di hati penulis akan tumbuh lebih besar lagi. Cinta penulis tidak akan pernah mati dan kekasihnya tersebut akan mandapatkan cinta dan perhatian yang setimpal dari semua pengorbanan yang telah diberikan oleh kekasihnya tersebut kepada penulis.

Cintaku hidup dari cintamu, kekasihku
Dan selama kau hidup cintaku akan terus dalam rangkulanmu
Tanpa meninggalkanmu.
           Ketiga larik terakhir di stanza terakhir ini menyatakan bahwa sebenarnya cinta di hati penulis itu tumbuh karena adanya cinta dan perhatian dari kekasihnya tersebut. Selama kekasihnya tersebut selalu mencintainya dan setia kepada penulis maka selama itu juga penulis akan setia dan tetap mencintai kekasihnya. Penulis tidak akan pernah mencoba untuk menghianati dan meninggalkan kekasih hatinya. Penulis berharap bahwa jalinan cinta mereka ini akan langgeng sampai akhir hayat mereka. Sebab penulis ingin selalu mencintai dan menyayangi kekasihnya itu seumur hidupnya.

        Puisi ini merupakan sebuah puisi yang indah dan mengharukan. Menggambarkan tentang sebuah ketulusan cinta dan keikhlasan dalam menyayangi seseorang. Cinta itu tulus dari dalam hati dan hanya hati yang dapat merasakan cinta yang sesungguhnya.