Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Senin, 04 Juni 2012

WANITA DALAM PANDANGAN HINDU

Om Awighnamastu.
Om Swastyastu.

        Kata Wanita berasal dari Bahasa Sanskrit, yaitu Svanittha, di mana kata Sva artinya "sendiri" dan Nittha artinya "suci". Jadi Svanittha artinya "menyucikan sendiri" kemudian berkembang menjadi pengertian tentang manusia yang berperan luas dalam Dharma atau "pengamal Dharma". Dari sini juga berkembang perkataan Sukla Svanittha yang artinya "bibit" atau janin yang dikandung oleh manusia, dalam hal ini, peranan perempuan. Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbhava atau reinkarnasi, sebagai salah satu Srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu.
         Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/ tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi.
         Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada di dalam kamar agar terlindung dari mara bahaya. Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Kurawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang.
           Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya. Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana bahwa ia sedang menstruasi, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan oleh Bima dan Drupadi menebus kaul/sumpahnya dengan mencuci rambutnya menggunakan darah Dursasana.
          Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan fisik dan mental. Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka bahwa wanita yang sedang menstruasi tergolong “cuntaka” atau “sebel” atau dalam bahasa sehari-hari disebut “kotor,” sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura.

        Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi, dan Prajapati. Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak.
          Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga, dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan, dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak.
          Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah “Dharma Sampati” artinya “Tindakan Dharma” karena melalui pernikahan, ada kesempatan reinkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia. Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal “Dharma” dan Suami disebut sebagai pengamal “Shakti”.
         Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti: mengandung, melahirkan, memelihara bayi, dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hindu di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dan lain-lainnya. Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya.
          Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): “rwa-bhineda” (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua. Maka dalam Agama Hindu perceraian sangat dihindari karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

       Ucapan “sorga ada ditangan wanita” bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam Menawadharmasastra, III, 56:
YATRA NARYASTU PUJYANTE, RAMANTE TATRA DEVATAH, YATRAITASTU NA PUJYANTE, SARVASTATRAPHALAH KRIYAH

Artinya : Di mana wanita dihormati, di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

Lebih tegas lagi dalam pasal berikutnya: 57:
SOCANTI JAMAYO YATRA, VINASYATYACU TATKULAM, NA SOCANTI TU YATRAITA, VARDHATE TADDHI SARVADA

Artinya : Di mana wanita hidup dalam kesedihan, keluarga itu akan cepat hancur, tetapi di mana wanita tidak menderita, keluarga itu akan selalu bahagia.

Dan pasal 58:
JAMAYO YANI GEHANI, CAPANTYA PATRI PUJITAH, TANI KRTYAHATANEVA, VINASYANTI SAMANTARAH

Artinya : Rumah di mana wanitanya tidak dihormati sewajarnya, mengucapkan kata-kata kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib.

          Mengingat demikian penting dan sucinya kedudukan wanita dalam rumah tangga, maka para orang tua memberikan perhatian khusus di bidang pendidikan dan pengajaran kepada anak wanita sejak kecil. Tradisi turun temurun pada lingkungan keluarga Hindu misalnya seorang anak wanita harus lebih rajin dari anak lelaki.
         Ia bangun pagi lebih awal, menyapu halaman, membersihkan piring, merebus air, menyediakan sarapan, mesaiban, memandikan adik-adik, dan yang terakhir barulah mengurus dirinya sendiri. Ia harus pula bisa memasak nasi, mejejaitan, mebebantenan, menjama beraya, dan banyak lagi hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan adat dan agama.
       Tanpa wanita seolah-olah kegiatan di dunia ini terhenti sehingga seorang lelaki dewasa yang belum juga menikah dianggap suatu keanehan, kecuali memang niatnya melakukan berata “nyukla brahmacari” artinya tidak kawin seumur hidup seperti yang dilakukan oleh Maha Rsi Bisma dalam ephos Mahabharata, dengan tujuan tertentu, yaitu memberikan kesempatan kepada keturunan adik tirinya menduduki tahta kerajaan.
       Wanita Hindu juga dibelenggu oleh sederetan norma-norma yang lebih ketat sehingga membedakan perilakunya di masyarakat dengan kaum lelaki. Pada beberapa hal ia tidak boleh melakukan hal yang sama seperti laki-laki. Baru zaman sekarang saja wanita “dibolehkan” memakai celana panjang, menyetir mobil, pergi ke mana-mana sendirian, berbicara bebas, dan lain-lain.
        Satu hal yang sangat utama diperhatikan bahwa wanita dalam keberadaannya di masyarakat sering mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, ada yang dilecehkan keberadaannya, terjadinya kasus kekerasan terhadap wanita, hak-hak sebagai wanita yang sejati sering dimanipulasi, adanya perlakuan yang tidak adil terhadap wanita, dan masih banyak lagi model ketidakpantasan prilaku terhadap wanita itu sendiri, baik oleh antar wanita maupun antara wanita dengan lawan jenisnya. Yang jelas, bahwa wanita sering mengalami nasib yang gonjang-ganjing dalam berbagai sisi.
          Wanita Hindu Nusantara di masa kini dan di masa depan tentulah tidak boleh ketinggalan dari kaum lelaki dalam menempuh karir dan pendidikan serta menyelenggarakan kehidupan sebagaimana mestinya. Persoalannya adalah bagaimana menempatkan diri secara bijaksana, sehingga peranan semula sebagai “pengamal Dharma” dalam rumah tangga tetap dapat dipertahankan sesuai dengan ayat-ayat Kitab Suci Veda seperti yang dikemukakan tadi.
         Berbagai upaya mesti dirancang dengan baik oleh ibu-ibu rumah tangga sejak awal, mendidik anak-anak gadisnya, membesarkan dalam nuansa Hindu, dan akhirnya ketika gadis, sudah siap menjadi pengamal Dharma atau dengan kata lain, matang untuk menjadi istri atau pendamping suami yang baik.
 
        Demikianlah yang dapat saya bagikan dalam kesempatan ini, kurang dan lebihnya mohon dimaafkan. Karena kita saya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, dan hanya Ida Sang Hyang Widhi yang sempurna di dunia ini.
 
Om A no bhadrah krattavo yantu visvatah.
Om Santi, santi, Santi, Om.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar