Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Minggu, 03 Juni 2012

HIPONIM & REDUDANSI

1.    Hiponim
         Istilah hiponimi (Inggr. hyponymy) berasal dari kata Yunani Kuno yaitu dari kata onoma ‘nama’ dan kata hypo ‘di bawah’. Jadi, bila di Indonesiakan kurang lebih artinya ‘nama (yang termasuk) di bawah nama lain’. (Verhaar,1981:137). Hiponim (Inggr. hyponym) ialah ungkapan (kata, biasanya; kiranya dapat juga frasa atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Istilah ‘hiponim’ dalam bahasa Indonesia dapat berupa kata benda, dapat pula berupa kata sifat (Inggr. hyponymous).
Misalnya kita dapat mengatakan bahwa ungkapan A adalah hiponim terhadap ungkapan B. Contoh dalam bahasa Indonesia: kata mujair, lele, gabus, paus, adalah hiponim terhadap kata ikan.
Contoh: 1.a. Nelayan menangkap ikan.
                 b. Nelayan menangkap mujair.

       Bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam bentuk ujaran yang lain disebut Hiponim atau hiponimi.
Contoh:
1.    Mawar, Melati, dan Anggrek adalah hiponim dari bunga.
2.    Jip, sedan, dan truk adalah hiponim dari kendaraan bermotor.
3.    Kendaraan bermotor, sepeda, dan becak adalah hiponim dari kendaraan.

Contoh:
1.    a. Ibu membeli bunga di pameran bunga.
       b. Ibu membeli anggrek di pameran bunga.
2.   a. Ali berangkat ke sekolah dengan menggunakan kendaraan bermotor
      b. Ali berangkat ke sekolah dengan menggunakan sedan.

       Hiponim tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Anggrek adalah hiponim dari bunga, tapi bunga bukan hiponim dari mawar, melainkan bunga merupakan hipernim. Begitu juga pada contoh kedua. Sedan merupakan hiponim dari kendaraan bermotor, tetapi kendaraan bermotor bukan hiponim dari sedan malainkan merupakan hipernim.
      Hiponim sangat berbeda dengan sinonim, antonim dan homonim. Bila sinonim, antonim, dan homonim, menyatakan suatu relasi yang berlaku ke dua arah. Seperti: bila A sinonim dengan B, maka sebaliknya pula. Bila A antonim terhadap b, maka begitu juga sebaliknya. Dan bila A homonim terhadap b, begitu pula sebaliknya.
      Dalam hal hiponim, relasi hiponim yang bersangkutan hanya berlaku ke satu arah. Misalnya: merah termasuk dalam arti berwarna (sebagai hiponimnya), tetapi jelas bahwa berwarna tidak ‘di bawah’ merah, melainkan justru ‘di atasnya’. Maka dari itu, para ahli semantik menyebut kebalikan dari hiponim sebagai ‘hypernim’.

2.   Redundansi
      Istilah redundansi (redudancy) Inggrisnya, kata sifatnya redudant sedangkan bahasa Indonesianya redudan, sering dipakai dalam linguistik modern untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila dipandang dari sudut semantik. Sebagai contoh kita dapat bertitik-tolak dari konsep perifrase (Verhaar,1981:137).
          Misalnya bila kalimat Saya diundang teman. diperpanjang menjadi Saya diundang oleh teman. Maka yang terakhir adalah poerifrase (sekaligus parafrase) dari kalimat pertama. Perbedaan diantaranya hanya konstituen oleh. Banyak linguis mengatakan bahwa konstituen oleh itu dalam kalimat kedua tadi adalah ‘redudan’, yaitu tidak diperlukan untuk mendapatkan makna penuh.
Namun pendapat tersebut mengacaukan makna dan informasi. Informasi kedua kalimat tadi memang sama, entah ada konstituen oleh atau tidak. Tetapi maknanya tidak sama. Memang sulit menentukan persis perbedaan makna mana yang terdapat. Misalnya kita dapat mengatakan bahwa penambahan konstituen oleh lebih menonjolkan sifat agentif dari sisa kalimat sesudah diundang. Kiranya ada kemungkinan lain untuk merumuskannya. Tetapi yang penting disini ialah prinsip yang sudah dirumuskan, yaitu informasi tidak boleh disamakan dengan makna. Yang pertama terdapat sebagai fenomena luar ujaran, yang kedua adalah sebagai fenomena dalam ujaran. Dan bila bentuk berbeda, maknanya harus dianggap berbeda pula.
       Redundansi adalah penggunaan unsur-unsur segmental secara berlebihan dalam suatu ujaran. Ukuran untuk menyatakan suatu kata itu redundans atau tidak adalah berubahkah informasi yang terkandung dalam suatu ujaran apabila kata tersebut dihilangkan. Bila informasi tersebut tidak berubah, maka kata tersebut adalah redundans.
       Sebagai contoh, dalam kalimat “Pak Petrus mengenakan kemeja berwarna putih agar supaya terlihat bersih”. Penggunaan kata “berwarna” dan kata “supaya” adalah berlebih-lebihan atau redundansi, karena tanpa kedua kata itu pun, informasi yang disampaikan kedua klausa itu sama.
Redundansi dipermasalahkan dalam ragam bahasa baku dan ragam bahasa pers, karena kedua ragam bahasa tersebut menuntut efisiensi kalimat. Redundansi ini dapat kita temukan dalam ragam bahasa sehari-hari. Misalnya, dalam kalimat “Suer, gue lihat sendiri, duit si Amin beneran banyak banget deh”. Penggunaan salah satu dari kata kata “beneran” atau kata “banget” itu redundansi. Walau begitu, hal itu tetap digunakan oleh subyek pembicara karena dia hendak menekankan nuansa makna jumlah uang yang sangat banyak.
        Contoh lain adalah: “Jagalah kebersihan lingkungan, agar supaya kita terbebas dari berbagai macam penyakit.” Penggunaan kata agar dan supaya sangatlah tidak afektif. Oleh karena itu kata agar dan supaya dapat dikatakan sebagai redundansi. Penggunaan kata agar dan supaya dapat dipilih salah satunya agar kontruksi kalimat tersebut mejadi kalimat yang lebih efektif. Seperti: “Jagalah kebersihan lingkungan, agar kita terbebas dari berbagai macam penyakit.” Dan dalam kontruksi kalimat “Jagalah kebersihan lingkungan supaya kita terbebas dari berbagai macam penyakit.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar