Selamat Datang di Blog Ayu I'u Gek

Jumat, 01 Juni 2012

TILAS PENYEBRANGAN ORANG-ORANG SUCI DI SELAT BALI AKSARA HATI PULAU DEWATA


         Kesan pertama saat membaca puisi ini yang terlintas dalam benakku adalah puisi yang panjang dan rumit untuk dipahami. Sebuah puisi yang sarat akan pelajaran dan budaya serta gambaran alam dan kehidupan pulau Bali Dwipa. Karya yang agung dan menyentuh sanubariku sebagai penikmat baru dalam dunia puisi, terlebih puisi yang bernafaskan Bali dan Hindu.
      Banyak hal yang tak dapat kumengerti dari untaian kata yang disusun oleh seorang Made Adnyana Ole. Memang saya beragama Hindu dan berasal dari Bali, tetapi tidak begitu saja membuat saya dapat dengan mudah memahami isi dari puisi ini. Butuh banyak referensi, bahan bacaan, serta diskusi untuk melengkapinya.
        Tilas Penyeberangan Orang-Orang Suci di Selat Bali sebagai sebuah judul. ‘Tilas penyebrangan’ berarti jejak perjalanan. Dan ‘orang-orang suci di selat Bali’ diumpamakan sebagai perkembangan kebudayan dan kehidupan masyarakat pulau Bali. Maka tepatlah judul puisi yang diangkat oleh Made Adnyana Ole ini sebagai perwakilan dari segala sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada pembaca.
      Made Adnyana Ole adalah seorang penyair yang lahir di Tabanan, 3 Mei 1968. Made Adnyana Ole pernah aktif di Sanggar Minum Kopi dan Yayasan Selakunda, Margarana. Kini Made Adnyana Ole bermukim di Singaraja sebagai kepala biro sebuah media. Made Adnyana Ole menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1985. Puisinya terkumpul dalam antologi Batu Beramal (1994), Sayong (1994), Antologi Puisi Indonesia (1997), Amsal Sebuah Patung (1997), Bunga Rampai Puisi Bali (1999), Datang Dari Masa Depan (2000), Bali The Morning After (2000), Art and Peace (2000) dan lain-lain.

      Setelah membaca puisi ini, ada yang ingin kunyatakan dalam tulisanku sebagai ungkapan hati. Karya ini memiliki roh yang dalam, mampu membawaku untuk bermimpi tentang kampung halaman. Dan saya ingin berkata: Bali dalam goresan luka dan jiwa seni yang men yelubunginya dalam riak yang menawan kalbu.
       Dari puisi Tilas Penyeberangan Orang-Orang Suci di Selat Bali tampak bahwa penulis (Made Adnyana Ole) ingin memperlihatkan dirinya dan identitas budayanya sebagai masyarakat Bali. Tabanan sebagai tempat lahirnya secara geografis memang terletak di pulau Bali.
       Isi dalam puisi Tilas Penyeberangan Orang-Orang Suci di Selat Bali mengisahkan tentang budaya Bali sekaligus kepercayaan kuno yang menyelubunginya. Mengapa demikian? Sebab puisi ini mengupas mengenai adat Bali dan kepercayaan Hindu. Penulis memulai lantunan puisinya dari sejarah asal mula bagaimana Selat Bali terbentuk hingga pada budaya perayaan hari raya Hindu juga perbenturan mengenai adanya kasta. Puisi  Made tersebut adalah:

Made Adnyana Ole

Tilas Penyebrangan Orang-Orang Suci di Selat Bali

Kijang Air:

Hanya kijang ramping yang tahu cara berenang
seringan ranting
ke pulau hutan di seberang
maka, tunggu senja merah saga
langit awan tembikar. Tunggu, tunggu
getar seratus kijang menuntun kita.

Tapi Kita ; Si Konon dan Si Lampau
sesunggunya tak pernah tahu tentang jejak
yang selalu hilang
dihapus air atau dipagut ular laut
ketika usia hanya akan berubah menjadi kelak
dan setiap pesisi di sebuah pulau mesti selalu diberi nama
dengan pongah, untuk sebuah ingatan yang enyah

Hanya Kijang, Mpu! Kijang air
Ia selalu menetaskan jejak di bibir ombak, usai peram
    pada senja, di rawa dan muara
Maka, Selat Bali jadi ringkas seperti parit landai

sedangkan terumbu di balik batu
masih setia
menyimpan lidah garam
Naik, naik ke punggungku. Sebuah pulau mendekat
dengan penghuni macan kerdil dan manusia lumut
mungkin tanpa Tuhan. Tapi mereka memuji segala rahasia
seperti puji besar kepada Tuhan. Naik, naik ke punggungku

Tak perlu mengayuh kayu apung
    dengan mentera mujarab
    atau kitab ajar dari Guning Semeru
    karena setiap siasat akan selalu menguap di setiap selat
Karena setiap selat akan selalu tega memasang arus pemisah
untuk siapapun yang berada di seberang
atau siapa pun yang merasa berada di seberang

Tapi dimana batas sebuah daratan
Jika kijang tak berkenan memberi nama
bagi setiap pulau
yang telah menjadi rumah?

Pulau Hutan:
Rumah yang tumbuh kemudian. Dari pohon
    Dan batu-batu tebing
Adalah tempat terhormat segala penat
Tidur, tidurlah. Setengah kerjap saja pada mata yang dalam
Selalu punya arti bagi hari-hari yang dirayakan setiap pagi

Lalu, di sebuah tapal yang samar
Kalian disambut!

Sembilan puluh bocah dengan sembilan puluh kasta berbeda
    (tapi dengan warna hari tua yang serupa)
Mengibar seutas perca selendang
    yang dirajut setiap malam
    dari serat daun pandan
sambil menabur pudak seladang-ladang
dan tangan yang dikibaskan ke udara
seperti menerbangkan rasa sakit ke segala arah

Di gerbang tanpa pintu
Ada sepasang penjor dari bambu tulang

Pucuk lengkung yang oleng dan rapuh
    dihias janur
disumpang bunga pengantin

Batang lurus yang kuat dan matang
    dibenamkan
    sedalam-dalamnya
    ke liang tanah

Kalian disambut dalam hutan gemah yang basah
Buka, buka tangan kalian. Palawija menyembul di tanah datar,
palagantung menggelinding di lereng pangkung
segala riuh daun, segala ranting rambat, segala batang berbuku
menawarkan rupa pada tanagn terbuka: Yang meminta
    atau memberi!

Apakah yang ingin kalian selamatkan
Di sebuah pulau yang tak pernah dimiliki
    dan tak pernah diberi nama
    oleh siapa pun yang setia
    menjadi penghuni
    sepanjang hidup
    atau sepanjang mati?
Kalian pun terpental! Tapi tak pernah bisa bertolak
untuk kembali ke asal sarang
Karena kijang air. Dan segala yang dulu ramping
sudah begitu lama menetap jadi gembala
di pulau hijau yang membuat kaki jadi tambun
dan tangan yang payah melambaikan usia
    ke semak-semak

Maka, tinggal, tinggallah kalian di sini!
Lepaskan Tuhan dari kepala dengan anggukan sempurna
Karena tempat yang terlalu suci terkadang membuat kami alpa
kepada waktu yang senantiasa luang

Jukung labu:

Empat ratus tahun kemudian
Kau diusir dari perang suci yang tak pernah dirancang
bahkan dalam rapat paling gelap sekalipun

Maka, keluarkan dagingnya, Dang Hyang!
Sebutir labu dengan cangkang yang matang
    Bisa begitu ringan
Untuk membawamu ke arus timur
ke satu daratan denagn tiga gunung api dan empat danau
di mana kelak empat istrimu
    (mungkin ditambah dua atau tiga dayang
dengan tugas seperti seorang istri)
menurunkan anak-pinak dengan warna darah ayng berbeda-beda

Apakah yang ingin kalian ajarkan
Disebuah pulau dengan beratus-ratus perempuan petani

Yang berkali-kali mendinginkan lahar gunung api
    dengan tiupan kecil siul kecil
    jadi humus dan lumut biru
    di kebun datar
    pakis payung?

Karena akan selalu saja begitu, Dang Hyang!
Buku ajar yang menebar di tengah daratan
    tercabik seperti kue labu
    di tengah keluarga besar yang tak begitu riang
Sebelum sempat disalin menjadi puisi suci
    atau jadi mantera di tengah pesta ank-anak
    yang setiap pagi kehilangan nenek moyang

Singaraja, 2008

      Selat Bali merupakan selat yang memisahkan Pulau Bali dengan Pulau Jawa.  Dan kini dijadikan sebagai jalur penyebrangan antar pulau. Selat yang memiliki legenda yang masih tetap hidup dalam hati masyarakat Bali.
      Selat Bali dahulunya bukanlah sebuah perairan, melainkan sebuah daratan dimana terdapat sebuah gunung. Di kaki gunung tersebut berdiamlah seekor naga suci yang sakti. Pada suatu saat seorang pemuda mendatanginya dan berguru kepada naga tersebut. Naga berkenan menerimanya sebagai murid namun dengan syarat ia harus mengubah kebiasaan buruknya. Namun sayang, ia tak dapat menahan nafsu jahatnya saat melihat permata yang bertahta di ujung ekor gurunya. Ia mencuri permata itu sehingga Naga marah besar. Ia kemudian membakar tubuh sang murid yang mencoba melarikan diri setelah mencuri permatanya.
      Ayahanda dari pemuda itu memohon kepada naga untuk mengampuni dan menghidupkan kembali anaknya. Naga menyanggupinya dengan syarat bahwa ia harus mengembalikan keadaan ekornya seperti sediakala. Setelah itu naga pun menghidupkan anaknya. Tetapi ayahnya merasa malu pada perbuatan anaknya. Ia kemudian menancabkan tongkatnya ke dalam tanah dan tersemburlah air dari  lubang bekas tongkat tersebut. Lama kelamaan air itu makin banyak dan terbentuklah sebuah selat. Selat itulah yang kini dikenal dengan nama ‘Selat Bali’.
 Kijang air perumpamaan yang digunakan oleh penulis sebagai seorang pencari ilmu pengetahuan yang suci. Hanya mereka yang memilik keteguhan yang dapat memahami apa sesungguhnya pengetahuan itu.
        Banyak orang-orang zaman dahulu bahkan sampai sekarang ini yang tidak mengerti arti dari ilmu pengetahuan. Kita hanya mengembangkannya dan bahkan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak seharusnya, seperti menciptakan bom atau racun yang dapat mengahncurkan kehidupan. Ini jelas terlihat dalam larik yang dituliskan oleh penyair dengan gayanya yang sangat bebas tapi berani : ”Tapi Kita; Si Konon dan Si Lampau/ sesungguhnya tak pernah tahu tentang jejak/ yang selalu hilang”// dan juga pada larik-larik :”Ketika usia hanya akan berubah menjadi kelak/ dan setiap pesisi di sebuah pulau mesti selalu diberi nama/ dengan pongah, untuk sebuah ingatan yang enyah”//
         Penyalahgunaan pengetahuan inilah yang menyebabkan pada zaman dahulu hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki pengetahuan. Dan ini juga yang menyebabkan masyarakat Bali dulunya menjadi masyarakat yang selalu mengandalkan pendeta dalam segala hal, baik upacara agama maupun pendidikan. Sebab bagi mereka kemampuan mutlak ada pada seorang pendeta :”Hanya Kijang, Mpu! Kijang Air/…/ Maka, Selat Bali jadi ringkas seperti parit landai”// Sesuatu yang dianggap sangat tragis oleh penulis. Bayangkan saja apabila sampai saat ini metode itu masih terus berkembang. Apa jadinya dunia ini bila hanya beberapa orang saja yang mengetahui pengetahuan itu? Pastinya dunia akan berjalan secara pincang, bukan? Yah, mestinya kita patut bersyukur akan kehidupan kita masa kini dimana kita semua dapat merasakan pendidikan secara layak.
        Perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Namun untuk memperolah pendidikan khususnya di bangku sekolah, kita harus mampu secara finansial di luar kemampuan otak kita. Kini kita tak perlu belajar dari kitab-kitab kuno atau mencari guru sampai ke tengah hutan. Seperti yang diungkapkan penulis pada puisinya di bait keempat:”Naik, naik ke punggungku. Sebuah pulau mendekat/ dengan penghuni macan kerdil dan manusia lumut/ mungkin tanpa Tuhan/…”// serta larik-larik pada bait kelima :”Tak perlu mengayuh batu apung/ dengan mantera mujarab/ atau kitab ajar dari Gunung Semeru/…”//
        Namun kita tak boleh mabuk pada pengetahuan yang kita miliki sebab kemabukan itu dapat membawa kehidupan kita pada jurang malapetaka. Mabuk yang saya maksud adalah kita tidak boleh sombong, kita juga tidak boleh menyalahgunakan pengetahuan itu untuk hal-hal yang tidak seharusnya, seperti dalam larik :”Karena setiap selat akan selalu tega memasang arus pemisah/ untuk siapa pun yang berada di seberang/ atau siapa pun yang merasa berada di seberang”//

        Pulau hutan : entah apa yang ingin disampaikan oleh penulis dengan gabungan kedua kata tersebut. Sungguh karya yang rumit namun tetap indah untuk dipahami.
      ‘Rumah yang tumbuh kemudian’ menjadi pembuka dari pemaparan panjang penulis. Rumah mewakili arti kebudayaan dalam masyarakat. Kebudayaan yang ingin dilukiskan oleh penulis dalam karyanya ini adalah perayaan Hari Raya Galungan.
       Hari Raya Galungan diperingati setiap enam bulan (210 hari) sekali menurut kalender Bali. Dirayakan sebagai hari kemenangan perjuangan antara yang benar (Dharma) melawan yang tidak benar (Adharma) dan juga sebagai pernyataan rasa terima kasih atas kemakmuran alam yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi. Baiklah, agar tidak membingungkan saya akan menceritakan sekilas tentang Legenda Hari Raya Galungan.
      Cerita ini memiliki hubungan dengan kisah Ramayana. Bermula dari usaha Rama untuk membebaskan istrinya, yaitu Sinta yang diculik oleh Rahwana (seorang raksasa jahat). Rahwana tertarik pada kecantikan Sinta, ia kemudian menyuruh anak buahnya menyamar menjadi kijang emas. Sinta yang merasa terpikat kemudian menyuruh Rama untuk menangkapnya. Rama mengejar kijang tersebut sampai ke tengah hutan namun saat dipanah kijang tersebut menjerit seperti suara manusia. Sinta yang mendengar jeritan itu mengira Rama terluka, maka keluarlah ia dari pendopo. Rahwana yang menyamar sebagai pendeta kemudian langsung menyambar tubuh Sinta dan menerbangkannya ke istanannya di Alengka Pura.
        Saat kembali ke pendoponya Rama tidak melihat Sinta. Seekor burung yang ditemuinya di jalan memberitahukan bahwa Sinta diculik oleh Rahwana. Rama dengan dibantu oleh pasukan kera, Subali, Laksamana, dan Wibisana (adik Rahwana), serta Hanoman (kera kepercayaan Subali) menyerang kerajaan Rahwana untuk membebaskan Sinta. Dengan bantuan mereka Rama membuat jembatan yang menghubungkan daratan yang dipijakinya dengan daratan tanah Alengka Pura.
         Maka dimulailah perang besar antara Rahwana dan Rama. Pasukan Rama menang dari pasukan Rahwana, hingga akhirnya terjadi tanding satu lawan satu antara Rahwana dan Rama. Rahwana yang dikenal dengan julukan Dasa Muka (sepuluh muka) ternyata tidak bisa meninggal bila kepalanya dipenggal. Akhirnya Rama menusukkan keris saktinya tepat di dada Rahwana. Pada saat itulah kemenangan mutlak berada di tangan Rama, dan Rama bisa memboyong Sinta untuk kembali ke istananya.
      Nah, kemenangan Rama inilah yang kini selalu dirayakan oleh masyarakat Hindu di seluruh dunia. Dan di Indonesia hari raya ini diberi nama Hari Raya Galungan.
      Proses perayaan ini dilukiskan secara gamblang oleh penulis dalam larik :”Di gerbang tanpa pintu/ ada sepasang penjor dari bambu tulang”// serta larik-larik yang menggambarkan seperti apa penjor itu :” pucuk lengkung yang oleng dan rapuh/ dihiasi janur/ disumpang bunga pengantin”/ Batang lurus yang kuat dan matang/ dibenamkan/ sedalam-dalamnya/ ke liang tanah”//
       Penjor adalah ciri khas yang menandakan perayaan Hari Raya Galungan, dimana penjor memiliki filosofis yang mendasarinya. Penjor dibuat dari bambu yang dihiasi janur yang melambangkan Naga Ananthaboga dan Basuki, serta sebagai simbol gunung sebagai tempat yang suci. Penjor berisikan sampyan penjor sebagai simbol keindahan serta digantungkan hasil-hasil bumi sebagai persembahan ucapan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
       Terlepas dari itu semua penulis juga ingin menggambarkan kesuburan alam di pulau Dewata, Bali. Penulis dengan berani menyatakan kecintaannya terhadap tanah kelahirannya tersebut. Dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, khususnya dalam bidang sastra, penulis mencoba untuk membangkitkan keindahan dan kebudayaan pulau Bali melalui coretan-coretan karyanya yang agung. Penulis bahkan mengajak kepada segenap masyarakat Bali/Hindu baik yang ada di Bali maupun di luar Bali untuk tetap menjaga keajegan Bali dimata dunia dan dimata masyarakatnya sendiri.

       Jukung labu : lumayan rumit untuk dimengerti maksud dari diksi penulis tersebut. Jika dilihat dari makna katanya, ‘jukung’ (bahasa bali) dalam bahasa Indonesia itu berarti sebuah perahu sederhana. Sedangkan ‘labu’ adalah buah. Hmmm… seperti padanan kata yang tidak nyambung ya? Tapi itulah seni dari sebuah puisi. Rumit, indah, dan bermakna.
       Jukung labu menggambarkan perjalanan masyarakat Bali yang bertransmigrasi dari pulau Bali ke pulau-pulau lainnya. Pulau Bali adalah pulau yang kecil dan padat penduduk. Maklum saja, zaman dahulu belum ada program KB (Keluarga Berencana) dan yang menjadi dasar pemikiran masyarakat adalah ‘banyak anak, banyak rezeki’. Mungkin itu yang mendasari mengapa masyarakat di pulau Bali membludak dan harus disebar ke daerah-daerah di luar Bali.
      “Empat ratus tahun kemudian/ kau diusir dari perang suci yang tak pernah dirancang/ bahkan dalam rapat paling gelap sekalipun”// Sial, sungguh sial. Penyebaran penduduk ini justru membuat terjadinya kesalahan dalam mendeskripsikan konsep ajaran agama. Yang paling jelas tergambar dalam kehidupan masyarakat Hindu baik di Bali maupun di daerah-daerah di luar Bali adalah pergunjingan mengenai adanya kasta. Bisa dikatakan masalah ini menjadi penghambat perkembangan kekerabatan dalam masyarakat Bali. Misalnya : orang-orang yang berasal dari kasta yang rendah selalu enggan untuk berhubungan dengan orang-orang yang berkasta tinggi. Begitu juga dengan orang-orang yang kastanya tinggi terkesan memandang rendah dan menginginkan penghormatan yang lebih dari orang-orang yang dianggapnya berada di bawah garis kastanya.
       Kondisi yang ironis bukan? Sangat memprihatinkan bila keadaan ini terus berlanjut. Pemahaman masyarakat Balilah yang dapat membunuh dan menghancurkan kebudayaannya sendiri. Yah, untungnya hal ini tak terus berlanjut. Semakin lama pemahaman masyarakat semakin maju.
      Saya masih ingat saat ada Upacara Pengabenan Masal di Desa Jati Bali seorang pendeta yang kami undang dari Bali, Ida Pandita Made Gunung mengatakan bahwa kita harus hidup berdasarkan pada ajaran agama dan jangan meningalkan ciri khas dari budaya kita sendiri walaupun kini tinggal di luar pulau Bali. Dan Beliau sempat mengatakan bahwa dalam agama Hindu itu tidak ada istilah ‘kasta’ dan kasta tidak pernah dituliskan dalam kitab Hindu manapun. Sebuah pemahaman besar yang dapat saya petik manfaatnya dalam kehidupan ini.
       Barangkali itulah setapak perjalanan dan gambaran kerumitan dari agama Hindu, seperti yang diungkap penulis dalam karyanya : “Untuk membawamu ke arus timur/ ke satu daratan dengan tiga gunung api dan empat danau/ di mana kelak empat istrimu/ (mungkin ditambah dua atau tiga dayang/ denag tugas seperti seorang istri)/ menurunkan anak-pinak dengan warna darah berbeda-beda”//
       Dimana pun kita berada kita tidak boleh melupakan asal kita dan harus tetap berpegang teguh pada ajaran agama sebagai penuntun dalam menjalani hidup. Pemahaman akan agama harus tetap dikembangkan mensejajari pemahaman akan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Bukan berarti kita meningalkan nenek moyang kita, tetapi menjadi pribadi yang lebih terbuka dan ingatlah selalu bahwa ‘ budaya berbeda dengan agama’ ada jarak yang mendasari keduanya seperti untaian kata terakhir yang dituliskan oleh Made Adnyana Ole : “karena selalu saja akan begitu, Dang Hyang!/ buku ajar yang menebar di tengah daratan/ tercabik seperti kue labu/ di tengah keluarga besar yang tak begitu riang/ sebelum sempat disalin menjadi puisi suci/ atau jadi mentera di tengah pesta anak-anak/ yang setiap pagi kehilangan nenek moyang”//

        Puisi Tilas Penyeberangan Orang-Orang Suci di Selat Bali sebenarnya terdiri dari tiga bagian besar yang dipisahkan dengan gabungan kata perumpamaan. Ketiga bagian itu menggambarkan bagian yang berbeda dengan bagian yang lainnya namun tetap berhubunagn satu sama lain. Secara ringkas, bagian pertama menjabarkan tentang kehidupan masyarakat Bali serta perubahan yang dialaminya. Bagian kedua memjelaskan tentang perayaan hari raya suci yang menjiwai kebudayaan masyarakat Hindu. Sedangkan bagian ketiga memberikan penjabaran tentang pemikiran kuno dan dilematis (permasalahan) yang pernah dihadapi oleh masyarakat Hindu sebagai agama yang besar.
       Sebagai sesama orang Bali dan beragama Hindu, saya benar-benar merasa jatuh cinta pada karya Made Adnyana Ole. Karyanya yang rumit dan panjang ternyata mengungkapkan beribu keindahan yang mendalam dari akar budaya Bali dan agama Hindu. Sungguh suatu karya yang memberikan banyak pelajaran dan pemahaman bagi saya untuk lebih mengerti dan mencintai leluhur dan budaya saya.
        Dalam puisinya Made Adnyana Ole mampu melukiskan alam Bali sebagai alam mistis di tengah luka sosial yang dialaminya. Bali sunyi dalam berbagai macam gemuruh hiruk pikuk yang meramaikannya. Kesunyian yang mungkin hanya dibaca penyair dan dipelihara dalam karya-karya yang memukau.
     Kekayaan tema dan ragam pengucapan puisi–puisi para penyair Bali mencerminkan kompleksnya persoalan Bali Dwipa (Pulau Dewata) di mata para penyair Bali. Ini adalah berkah yang tiada taranya. Penyair memelihara berkah itu dan itulah arti penyair bagi Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar